KUMPULAN CERITA RAKYAT

Kumpulan Seluruh Cerita Rakyat Indonesia dan International

CERITA INDONESIA

Cerita Dongeng Thumbelina Petualangan Gadis yang Berukuran Sebesar Ibu Jari

Alkisah pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang perempuan yang sangat kesepian dan ingin memiliki seorang anak tapi tidak mengetahui harus pergi ke mana untuk bisa mendapatkannya.

Oleh karena itu, ia pun kemudian memutuskan untuk pergi menemui seorang peri dan berkata, “Aku sangat ingin memiliki seorang anak. Bisakah kau memberitahuku di mana aku bisa mendapatkannya?”

“Oh, hal itu bisa diatur dengan sangat mudah,” jawab sang peri. “Ini adalah gandum. Bisa kukatakan padamu kalau ini bukanlah gandum yang biasa tumbuh di ladang petani, ataupun yang biasanya dimakan oleh ayam. Masukkanlah gandum ini di dalam pot bunga dan lihatlah apa yang akan terjadi.”

“Terima kasih,” jawab perempuan itu, kemudian memberikan uang sebesar dua sen kepada peri itu, sebagai bayaran atas gandumnya. Kemudian, perempuan itu pulang ke rumah dan mengikuti perintah sang peri untuk menanam gandum itu pot bunga.

Tiba-tiba, di pot tersebut tumbuh bunga yang berukuran besar tapi terlihat indah. Bentuknya menyerupai bunga tulip, tapi daunnya masih tertutup rapat sehingga bunganya terlihat masih kuncup.

“Sungguh bunga yang sangat indah,” ucap perempuan itu. Ia pun kemudian mencium kelopak bunga yang berwarna merah dan emas itu. Mendadak, kuncup bunga itu terbuka dan sang perempuan bisa melihat bahwa itu adalah bunga tulip sungguhan.

Namun, di dalam bunga itu, tepat di atas benang sari hijau sehalus beludru, duduklah seorang gadis kecil yang terlihat lembut dan anggun. Ukurannya mungkin hanya setengah dari panjang ibu jari. Karena ukurannya yang sangat kecil, wanita itu dan suaminya memberi nama si gadis mungil dengan nama Little Thumb yang berarti Jempol Kecil, atau Thumbelina.

Thumbelina Diculik Katak

Kulit kenari yang dipelitur dan dipoles secara elegan hingga mengkilap digunakan sebagai dipan untuk Thumbelina, sementara tempat tidurnya terbuat dari tumpukan daun violet yang berwarna biru, dengan kelopak bunga mawar sebagai selimutnya.

Gadis berukuran setinggi ibu jari itu tidur di sana ketika malam hari. Namun, sepanjang siang ia akan bersenang-senang di atas meja, di mana perempuan yang merupakan istri dari petani itu akan meletakkan sebuah piring berisi air.

Di sekeliling piring tersebut terdapat rangkaian bunga yang batangnya dicelupkan di dalam air. Di permukaan airnya, mengapung sebuah kelopak tulip berukuran besar yang biasanya dijadikan sebagai perahu oleh si gadis kecil. Biasanya, ia akan duduk di kelopak tersebut kemudian mendayung dari satu sisi piring ke sisi yang lain. Dua dayungnya terbuat dari  bulu kuda yang berwarna putih.

Itu adalah pemandangan yang sangat indah. Apalagi Thumbelina juga akan menyanyi dengan suara yang sangat lembut dan merdu. Rasanya seolah tak ada seorang pun yang pernah mendengar nyanyian yang jauh lebih indah daripada suara Thumbelina sebelumnya.

Pada suatu malam, ketika gadis berukuran mungil itu sedang berbaring di tempat tidurnya yang cantik, mendadak seekor katak jelek berukuran besar merangkak masuk melalui jendela kaca yang pecah. Katak itu kemudian melompat tepat ke atas meja, tempat Thumbelina berbaring tidur di bawah selimut kelopak mawarnya.

“Sungguh istri kecil yang sangat cantik untuk putraku,” ucap sang Katak. Kemudian ia mengambil kulit kenari tempat si gadis jempol tidur, dan melompat keluar dari jendela menuju ke arah taman.

Baca juga: pohon-kelapa-dan-pohon-pepaya. Cerita Pohon Kelapa dan Pohon Pepaya Beserta Ulasan Lengkapnya, Kisah yang Mengajarkan Bahwa Setiap Manusia Punya Kekurangan dan Kelebihannya Masing-Masing

Sang Gadis Diletakkan di Tengah Daun

 Sumber: Wikimedia Commons

Di tepi rawa yang luas di taman, terdapat sebuah tempat tinggal si Katak bersama putranya. Sang putra sendiri terlihat jauh lebih buruk rupa dibandingkan sang ibunda. Ketika sang Katak melihat gadis kecil yang berparas rupawan di tempat tidurnya yang elegan, ia langsung berteriak kegirangan.

“Jangan bersuara terlalu keras, atau kau akan membangunkannya,” ucap sang Ibu Katak, “Lalu mungkin saja ia akan langsung melarikan diri, karena tubuhnya seringan bulu angsa. Kita harus meletakkannya di salah satu daun teratai di permukaan rawa sehingga daun itu akan menjadi seperti pulau baginya.”

Ibu Katak kemudian kembali melanjutkan ucapannya, “Karena tubuhnya sangat ringan dan kecil, ia mungkin tak akan bisa melarikan diri. Sementara ia berada di sana, kita harus segera bergegas mempersiapkan kabin di rawa bagian bawah untuk kau jadikan sebagai tempat tinggal setelah menikah kelak.”

Jauh di tengah rawa, tumbuh sejumlah bunga lili air yang memiliki daun lebar berwarna hijau. Karena lebarnya, daun itu bisa mengapung dengan mudah di permukaan air. Salah satu daun yang permukaannya paling lebar terletak cukup jauh dibandingkan dengan daun lainnya. Dengan penuh kesungguhan, Ibu Katak berenang menuju permukaan daun itu dengan menarik cangkang kenari yang masih berisi Thumbelina yang tertidur.

Tak lama kemudian, gadis jempol itu mulai bangun jauh lebih pagi dibandingkan sebelumnya dan mulai menangis dengan sedih ketika menyadari bahwa ia sudah tak lagi di rumah. Ketika ia memperhatikan sekelilingnya, ia hanya bisa menemukan permukaan air di setiap sisi daun hijau yang besar itu. Ia juga tak bisa menemukan jalan untuk mencapai daratan.

Dipaksa Menikah dengan Anak Katak

Sementara itu, si Ibu Katak yang tua terlihat sangat sibuk di rawa bagian bawah, menghiasi kamarnya menggunakan semak-semak dan bunga liar berwarna kuning. Tujuannya agar kamarnya terlihat cantik khusus untuk menantu barunya. Setelah selesai dan puas dengan kamar yang ia hias itu, ia mengajak putranya untuk berenang menuju ke daun tempat mereka meletakkan Thumbelina yang malang.

Ia juga ingin membawa serta tempat tidur cantik milik sang gadis jempol, agar ia bisa meletakkannya di kamar pengantin yang telah ia siapkan. Katak tua itu membungkukkan tubuhnya dengan rendah di dalam air ke arah sang gadis jempol.

Kemudian sang Ibu Katak berkata, “Ini adalah putraku. Ia akan menjadi suamimu dan kalian akan hidup bahagia bersama-sama di wilayah rawa yang ada di tepi sungai.”

Sementara sang Anak Katak hanya menanggapi dengan berkata, “Krok, krok, krok.”

Kemudian, Ibu Katak mengambil tempat tidur kecil elegan milik sang gadis dan berenang menjauh. Mereka meninggalkan Thumbelina yang kini hanya bisa duduk dan menangis sendirian di atas daun hijau yang lebar itu. Gadis berukuran sepanjang jempol itu sama sekali tak tahan membayangkan menikah dengan seekor Katak yang buruk rupa dan hidup bersama si Ibu Katak yang tua.

Sekumpulan ikan kecil yang berenang di dalam air rawa sebenarnya memperhatikan dan mendengar apa yang terjadi pada Thumbelina dan Ibu Katak. Mereka merasa penasaran sebenarnya seperti apakah rupa sang gadis mungil dan memutuskan untuk mengangkat kepala mereka sampai ke permukaan air agar bisa melihat lebih mudah.

Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati bahwa sang gadis mungil berwajah sangat rupawan. Tentu saja mereka langsung merasa kesal ketika memikirkan gadis itu harus pergi dan dipaksa hidup dengan keluarga kodok jelek itu.

Ditarik oleh Kupu-Kupu Putih yang Anggun

“Ini tak bisa dibiarkan begitu saja,” ujar salah satu Ikan. Ia pun kemudian mengajak teman-temannya untuk berkumpul bersama dan mengelilingi tangkai yang menahan daun tempat sang gadis kecil berdiri. Secara bersamaan, mereka menggerogoti tangkai itu menggunakan gigi mereka.

Setelah berhasil, daun yang lebar itu mengapung di sungai dan membawa Thumbelina yang malang semakin jauh dari daratan. Dengan tenang, sang gadis jempol berlayar di atas daun melewati banyak kota. Di tengah perjalanan, ada beberapa burung-burung kecil yang sedang bertengger di semak-semak dan melihatnya seraya bernyanyi, “Sungguh makhluk kecil yang indah.”

Daun itu mengapung semakin jauh, hingga membawanya sampai ke negeri antah berantah. Perjalanan sang gadis itu pun menarik perhatian seekor kupu-kupu putih yang anggun. Kupu-kupu itu terus saja terbang mengelilingi daun itu, dan akhirnya memutuskan untuk hinggap di salah satu sisi daun.

Gadis mungil yang jelita itu membuat sang kupu-kupu merasa bahagia ketika melihatnya. Sebaliknya, sang gadis sendiri sebenarnya juga sedang merasa senang karena meyakini kedua katak itu tak akan bisa menemukannya.

Apalagi, negeri antah berantah yang ada di sekitarnya kini terlihat sangat indah. Matahari benar-benar terlihat bersinar di atas air sampai berkilauan seperti emas cair.

Thumbelina kemudian melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat dari pita dan mengikatkan salah satu ujungnya ke sekeliling kupu-kupu, sementara ujung yang lain diikatkan ke pangkal batang daun. Hal itu membuat daun yang dinaiki sng gadis bisa mengapung lebih cepat dari sebelumnya.

Mendadak, seekor kutu busuk berukuran besar terbang mendekat. Ketika ia melihat Thumbelina dan kecantikannya, dengan segera sang Kutu Busuk itu menangkap pinggang sang gadis menggunakan cakarnya kemudian terbang bersama-sama ke arah sebuah pohon.

Gadis Jelek Tak Bertanduk

Daun yang sudah tak berpenumpang itu terus saja hanyut dengan Kupu-kupu yang menariknya. Karena sang Kupu-kupu terikat, ia sama sekali tak bisa melepaskan daun itu dan hanya bisa terus membawanya kemana-mana.

Sementara itu, Thumbelina ketakutan karena Kutu Busuk itu membawanya terbang ke arah pohon. Di waktu yang bersamaan, ia juga merasa kasihan pada si Kupu-kupu putih yang cantik itu karena tak akan bisa membebaskan dirinya dan mungkin saja akan mati kelaparan.

Meskipun begitu, sang Kutu Busuk tak akan mempedulikan masalah itu sama sekali. Setelah meletakkan Thumbelina di sebuah daun berukuran besar, ia duduk di samping sang gadis. Kemudian sang Kutu Busuk membawakan madu yang berasal dari bunga untuk dimakan sang gadis. Tak hanya itu, ia pun memuji kecantikan sang gadis, meskipun tak terlihat seperti seekor Kutu Busuk.

Setelah beberapa saat, semua Kutu yang tinggal di atas pohon datang untuk mengunjungi Thumbelina. Mereka menatap gadis itu selama beberapa saat. Kemudian, beberapa Kutu Busuk betina yang masih muda mengangkat antena mereka.

“Ia hanya memiliki dua kaki. Lihatlah betapa jelek penampilannya!” ujar salah satu Kutu Busuk betina.

“Ia tidak memiliki tanduk,” ucap Kutu Busuk yang lain. “Pinggangnya terlalu ramping. Dia terlihat seperti manusia.”

“Oh, dia benar-benar terlihat jelek,” ujar semua Lady Kutu Busuk secara nyaris bersamaan.

Ucapan-ucapan itu membuat sang Kutu Busuk yang menculik Thumbelina ragu-ragu. Ia mulai mempercayai ucapan teman-temannya bahwa gadis itu sebenarnya berwajah jelek. Pada akhirnya ia pun memberitahu Thumbelina bahwa gadis itu bisa pergi kemana pun yang diinginkan.

Sesudahnya, ia benar-benar membawa gadis kecil itu dari atas pohon kemudian meletakkannya di atas bunga aster.

Datangnya Musim Dingin yang Membekukan

Ketika sampai di atas kelopak bunga aster itu, sang gadis mungil merasa sangat sedih sampai menangis. Ia benar-benar mengira kalau wajahnya sangat jelek sehingga membuat para Kutu Busuk tak mengatakan apa-apa padanya. Padahal selama ini orang-orang selalu berkata bahwa ia adalah makhluk terindah, terhalus, dan selembut kelopak bunga mawar yang ada di dunia.

Sepanjang musim panas, Thumbelina mungil yang malang itu tinggal sendirian di hutan yang luas. Ia berusaha menenun tempat tidur menggunakan bilah rumput sendirian kemudian menggantungnya di bawah sebuah daun berukuran lebar. Hal itu dilakukannya untuk melindungi dirinya dari hujan.

Untuk makan, ia menghisap madu dari bunga kemudian minum embun yang berasal dari daun setiap paginya. Musim panas itu pun akhirnya berlalu, hingga musim berganti menjadi musim gugur dan ia masih saja melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya musim dingin yang panjang dan membekukan pun akhirnya tiba.

Semua burung yang biasanya bernyanyi dengan merdu untuknya kini telah terbang menjauh. Pepohonan dan bunga-bunga juga mulai layu. Semanggi besar yang berada di samping tempat tidurnya yang terbuat dari bilah rumput kini telah bergelung dan mengerut. Hingga tak ada yang tersisa kecuali tangkainya yang berwarna kuning dan layu.

Di musim yang membekukan itu, gadis jempol itu merasa sangat kedinginan. Apalagi kini pakaiannya telah sobek-sobek sehingga tubuhnya menjadi semakin rapuh. Ia bahkan nyaris mati membeku. Agar bisa menghangatkan tubuhnya, si gadis jempol membungkus tubuhnya menggunakan daun kering. Sayangnya, karena daunnya terlalu kering pada akhirnya pun retak dan ia kembali kedinginan.

Yang paling membuat sedih, ketika salju mulai turun, kepingan salju yang jatuh di daun atasnya terasa seperti satu sekop salju yang menimpanya.

Tinggal Bersama Tikus Sawah

Di dekat hutan tempat sang Gadis Jempol itu tinggal, terdapat sebuah ladang jagung yang luas. Namun, di ladang itu sudah tak ada lagi tumbuhan jagung yang tumbuh. Semuanya sudah ditebang dan menyisakan tunggul keringnya saja yang berdiri di tanah yang membeku.

Meskipun tunggul itu sebenarnya berukuran tipis, tapi bagi Thumbelina yang mungil tunggulnya terlihat seperti kayu berukuran besar.

Ketika berjalan melintasi tanah yang membeku itu, tubuhnya menggigil kedinginan. Tanpa terasa, ia sampai ke pintu kediaman Tikus Sawah yang terletak di bawah sebuah bukit kecil. Rumah sang Tikus Sawah yang memiliki dapur dan ruang makan indah itu terasa begitu hangat dan nyaman.

Thumbelina yang malang itu hanya bisa berdiri di depan pintu seperti halnya seorang gadis pengemis. Ia mengetuk pintu itu secara perlahan, kemudian meminta sepotong kecil gandum. Ia hanya membutuhkan makanan sedikit karena sudah dua hari ini ia tidak makan sama sekali.

“Sungguh makhluk kecil yang malang,” ucap  sang Tikus Sawah tua yang baik hatinya, “Kemarilah masuk ke dalam kamarku yang hangat dan makanlah bersamaku.” Tikus Sawah itu rupanya merasa senang dengan keberadaan Thumbelina.

“Aku akan mempersilakanmu tinggal bersamaku sepanjang musim dingin ini kalau kau mau,” lanjut sang Tikus Sawah, “Namun, kau harus berjanji untuk selalu menjaga kamarku tetap bersih dan rapi, lalu berjanjilah untuk selalu menceritakan sesuatu untukku karena aku sangat suka mendengar cerita.”

Tentu saja Thumbelina langsung menyetujui semua permintaan sang Tikus Sawah dan mulai membuat dirinya nyaman. Sejak saat itu, sang gadis jempol pun mulai tinggal di kediaman sang Tikus Sawah.

Kedatangan Tamu Tikus Tanah

Pada suatu hari, sang Tikus Sawah berkata pada Thumbelina, “Kita akan kedatangan tamu hari ini. Setiap seminggu sekali, tetanggaku selalu mengunjungiku. Ia adalah seorang pria yang baik. Rumahnya besar dan ia selalu mengenakan mantel beludru hitam yang indah. Kalau kau bisa menikahinya, tentu hidupmu akan dipenuhi dengan kebahagiaan.”

Sang Tikus Sawah kemudian melanjutkan lagi, “Hanya saja ia buta. Oleh karena itu, kau harus selalu menceritakan beberapa cerita terindahmu padanya.”

Sebenarnya, Thumbelina sama sekali tidak tertarik dengan si tetangga yang diceritakan oleh Tikus Sawah. Karena bagaimanapun juga, tetangga yang dimaksud itu adalah seekor Tikus Tanah. Meskipun pada akhirnya memang sang Tikus Tanah datang berkunjung dengan mengenakan mantel beludru hitamnya.

Memang, si Tikus Tanah adalah hewan yang kaya dan terpelajar. Hal itu tak perlu diragukan lagi, hanya saja ia sama sekali tak pernah membicarakan tentang matahari dan bunga-bunga indah. Alasannya karena Tikus Tanah tak pernah melihatnya sama sekali.

Ketika Tikus Tanah datang berkunjung, Thumbelina harus selalu menyanyikan berbagai macam lagu. Mulai dari lagu tentang Ladybird hingga berbagai macam lagu indah lainnya. Hal itu membuat sang Tikus Tanah sangat jatuh cinta pada suara merdu sang Gadis Jempol. Namun, ia tidak mengucapkan apa-apa karena ia adalah hewan yang sangat berhati-hati.

Beberapa waktu sebelumnya, sebenarnya sang Tikus Tanah telah menggali sebuah lorong panjang di bawah tanah. Lorong tersebut menyambungkan tempat tinggal Tikus Sawah ke rumah Tikus Tanah.

Pada saat itu, ia mengundang Tikus Sawah dan Thumbelina untuk datang ke rumahnya sebagai tamu. Hanya saja, Tikus Tanah tetap memperingatkan keduanya untuk tak mengkhawatirkan adanya bangkai seekor burung yang tergeletak di lorong tersebut. Bangkai burung tersebut masih berbentuk sempurna dengan paruh dan bulunya. Mungkin kematiannya terjadi belum lama ini.

Nasib Burung yang Malang

Sebelum melewati terowongan tersebut, Tikus Tanah akan menggigit sepotong kayu berpendar yang berkilauan layaknya api di tengah kegelapan. Kemudian ia akan berjalan di depan Tikus Sawah dan sang Gadis Jempol untuk menerangi jalan mereka melalui lorong yang gelap dan panjang itu.

Ketika akhirnya mereka sampai di lokasi tempat bangkai burung itu, Tikus Tanah mendorong hidungnya yang lebar ke arah langit-langit lorong hingga akhirnya tembus ke permukaan bumi dan cahaya matahari masuk ke dalam lorong tersebut.

Dengan bantuan cahaya matahari, kini mereka bisa semakin melihat bahwa bangkai yang tergeletak itu adalah seekor burung walet. Sayapnya yang indah tertarik ke samping sementara kaki dan kepalanya terangkat di bawah bulunya. Sepertinya burung walet itu mati karena kedinginan.

Hal itu tentu membuat Thumbelina merasa sedih ketika melihatnya, karena ia sangat menyukai burung-burung kecil. Sepanjang musim panas, para burung kecil itu selalu bernyanyi dan berkicau dengan sangat indah.

Namun, Tikus Tanah dengan ringannya menyingkirkan burung itu menggunakan kakinya yang bengkok, lalu berkata, “Ia tak akan bisa bernyanyi lagi sekarang. Betapa menyedihkannya terlahir sebagai seekor burung kecil. Aku bersyukur tak akan ada anakku yang akan menjadi burung. Karena mereka tak akan bisa melakukan apa-apa selain berkata ‘Twit, twit’ dan akhirnya akan mati kelaparan di musim dingin.”

“Ya, kau bisa saja berkata begitu sebagai pria yang cerdas!” seru Tikus Sawah. “Apa gunanya berkicau kalau pada akhirnya mereka harus mati kelaparan atau mati membeku ketika musim dingin tiba? Namun, burung-burung itu bisa berkembang biak dengan baik.”

Thumbelina tak berkata apa-apa. Namun, ketika kedua Tikus itu memunggungi burungnya, sang Gadis Jempol membungkuk dan membelai bulu yang menutupi kepala sang burung kemudian mencium kelopak mata sang burung yang sudah tertutup.

Burung Walet yang Rupanya Belum Mati

“Mungkin ini adalah burung yang sudah bernyanyi dengan manis untukku di sepanjang musim panas,” ujar Thumbelina, “Betapa senangnya aku karena ia adalah burung yang cantik.”

Sang Tikus Tanah kemudian menutup lubang yang dimasuki oleh sinar matahari itu, dan mengantarkan para gadis itu pulang.

Sayangnya, sesampainya di rumah, Thumbelina tak bisa tidur sama sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat tidurnya dan memutuskan untuk menenun karpet jerami yang indah dan berukuran besar. Ia membawa karpet itu ke tempat bangkai sang Burung Walet dan menutupkan di atas bangkai itu. Kemudian ia juga menyebarkan beberapa bunga yang bisa ia temukan di kamar Tikus Sawah.

Karpetnya selembut wol, dan Gadis Jempol itu hanya bisa mendoakan semoga saja sang Burung Walet bisa berbaring dengan hangat di tanah yang dingin.

“Selamat tinggal, burung kecil yang cantik,” ucapnya, “Selamat tinggal. Terima kasih atas nyanyianmu yang menyenangkan di sepanjang musim panas, ketika semua pohon masih hijau dan matahari yang hangat menyinari kita.”

Kemudian Thumbelina meletakkan kepalanya di dada sang burung. Betapa terkejutnya sang gadis ketika mendengar sesuatu dari dalam tubuh burung itu yang berbunyi “duk, duk.” Rupanya itu adalah suara dari jantung sang burung.

Oleh karena itu, bisa dipastikan kalau rupanya sang Burung Walet tidak benar-benar mati. Ia hanyalah mati rasa karena kedinginan. Dan sekarang, berkat kehangatan yang diberikan dari karpet jerami buatan sang Gadis Jempol, burung itu telah hidup kembali.

Di musim gugur, biasanya memang semua burung walet akan terbang ke wilayah yang lebih hangat. Namun, jika masih ada burung yang tertinggal, nantinya hawa dingin akan menguasainya. Sehingga sang burung akan kedinginan dan terjatuh seolah mati. Ia akan terus berada di tempatnya terjatuh hingga salju dingin menutupi tubuhnya.

Apa yang Terjadi pada Sang Burung Walet

Tubuh Thumbelina bergetar hebat. Mendadak, ia sangat ketakutan, karena burung itu sebenarnya berukuran sangat besar. Benar-benar jauh lebih besar daripada sang gadis yang tingginya hanya satu inci.

Meskipun begitu, Thumbelina berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya dan meletakkan karpet jerami yang lebih tebal di atas burung walet itu. Tak hanya itu, ia juga mengambil sehelai daun yang ia gunakan sebagai selimut di kamarnya, kemudian meletakkannya di atas kepala sang burung.

Besok malamnya, ia kembali mencuri waktu untuk menemui sang burung. Benar saja, kali ini sang burung masih hidup, hanya saja tubuhnya terlihat sangat lemah. Namun, setidaknya ia bisa membuka kedua matanya sejenak untuk melihat Thumbelina. Sang gadis terlihat sedang berdiri dengan sepotong kayu lapuk di tangannya yang digunakan sebagai lentera.

“Terima kasih, gadis mungil yang cantik,” ucap Burung Walet yang terlihat sakit itu, “Kau sudah menghangatkan tubuhku sehingga aku bisa kembali mengumpulkan kekuatan untuk terbang di bawah sinar matahari yang hangat.”

“Oh,” ucap Thumbelina, “Sekarang masih dingin di luar sana. Salju sedang turun dan udara terasa membeku. Oleh karena itu, akan lebih baik kalau kau tetap berada di tempat tidurmu yang hangat. Aku berjanji akan selalu menjagamu.”

Ia membawakan air menggunakan kelopak bunga untuk sang Burung Walet. Kemudian setelah diminum, sang Burung Walet memberi tahu bahwa salah satu sayapnya terluka karena semak berduri. Sehingga ia tak akan bisa terbang secepat burung walet lainnya. Itu sebabnya ia tak bisa terbang jauh hingga ke daerah yang lebih hangat.

Pada akhirnya burung itu pun jatuh ke bumi dan tak lagi bisa mengingat apa-apa. Termasuk bagaimana bisa akhirnya ia sampai di tempat sang Gadis Jempol menemukannya.

Perpisahan dengan Burung Walet

Sepanjang musim dingin, burung walet itu tetap berada di bawah tanah. Dengan penuh cinta dan perhatian, Thumbelina merawat burung itu. Selama melakukan itu, ia sama sekali tak memberitahu Tikus Tanah ataupun Tikus Sawah. Karena Thumbelina yakin kalau kedua tikus itu tidak menyukai sang Burung Walet.

Tanpa terasa, musim semi pun akhirnya tiba dan matahari mulai menghangatkan bumi. Burung Walet itu kemudian berpamitan pada Thumbelina kemudian membuka lubang di langit-langit yang pernah dibuat oleh Tikus Tanah. Matahari langsung menyinari mereka dengan sangat indah.

Burung Walet pun kemudian bertanya apakah Thumbelina ingin pergi bersamanya menuju ke hutan hijau. Ia juga menawarkan pada sang gadis untuk duduk di punggungnya.

Namun, sang gadis tahu kalau hal itu akan membuat Tikus Sawah sedih karena meninggalkannya begitu saja. Oleh karena itu, Thumbelina hanya bisa menjawab, “Maaf, tapi aku tak bisa melakukan itu.”

“Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal, gadis cantik yang baik,” ucap sang Burung Walet sebelum akhirnya terbang ke arah matahari.

Thumbelina yang telah merawat sang Burung Walet selama ini pun merasa sedih hingga air mata mengalir di matanya. Apalagi ia sangat menyukai burung walet itu.

Sang gadis sama sekali tak diizinkan keluar ke permukaan untuk merasakan sinar matahari yang hangat. Apalagi kini jagung telah ditaburkan di ladang yang ada di atas rumah Tikus Sawah. Pohon jagung itu sudah tumbuh tinggi melebihi tinggi badan sang Gadis Jempol.

“Kau akan segera menikah, Nak,” ucap sang Tikus Sawah pada suatu hari. “Tetanggaku telah memintamu untuk menjadi istrinya. Betapa beruntungnya kau. Sekarang kita harus menyiapkan gaun pernikahanmu. Gaunnya harus terbuat dari wol dan linen.”

Persiapan untuk Pesta Pernikahan Sang Gadis Jempol

Tikus Sawah menyewa empat laba-laba untuk mengeluarkan jaring yang dipilin menjadi benang. Thumbelina pun kemudian mulai memutar alat pemilin untuk membuat benang sepanjang siang dan malam. Setiap malam, Tikus Tanah selalu datang berkunjung untuk mengobrol dan membicarakan tentang apa yang akan mereka lakukan setelah musim panas berakhir.

Ia berencana untuk merayakan pernikahannya dengan Thumbelina di musim panas. Namun, karena matahari bersinar terlalu panas dan terasa seperti membakar bumi, ia pun memutuskan untuk memundurkannya sampai musim panas berakhir.

Segera setelah musim panas berakhir, pesta pernikahan itu akan langsung dilangsungkan. Hanya saja, Thumbelina sama sekali tidak senang dengan hal itu. Karena bagaimanapun juga, ia tidak menyukai si Tikus Tanah.

Setiap pagi ketika matahari baru saja terbit dan setiap malam ketika matahari baru terbenam, Thumbelina akan berdiri di pintu untuk melihat langit biru. Ia berpikiran betapa indah dan cerahnya langit di luar sana.

Sang gadis ingin bisa kembali melihat sahabatnya, sang Burung Walet. Sayangnya, sahabatnya itu tak pernah kembali. Ia yakin kalau Sang Burung Walet kini telah terbang jauh ke hutan hijau yang indah.

Ketika musim gugur tiba, gaun pengantin Thumbelina telah siap. Tikus Sawah pun kemudian berkata padanya, “Pesta pernikahan harus dilangsungkan dalam empat minggu.”

Hal itu membuat sang Gadis Jempol menangis penuh kesedihan. Ia berkata kalau ia tak akan menikahi Tikus Tanah yang tidak menyenangkan baginya.

“Omong kosong,” ucap Tikus Sawah. “Kau tak boleh keras kepala. Ia adalah Tikus Tanah yang tampan. Tak tahukah kau kalau seorang ratu saja tak akan mengenakan pakaian dari beludru dan bulu yang indah seperti halnya si Tikus Tanah. Belum lagi dapur dan ruang bawah tanah penyimpanan makanannya selalu penuh. Seharusnya kau merasa bersyukur atas nasib baik itu.”

Kembali Bertemu dengan Burung Walet

 Sumber: Wikimedia Commons

Akhirnya hari pernikahan itu pun ditetapkan. Setelah itu, Tikus Tanah akan membawa sang gadis untuk tinggal bersamanya jauh di bawah tanah. Dan tentunya ia tak akan membiarkan Thumbelina melihat matahari yang  hangat karena Tikus Tanah tak menyukainya.

Gadis malang itu tak bisa membayangkan dirinya harus mengucapkan selamat tinggal kepada matahari yang hangat dan indah. Oleh karena itu, ketika ia memiliki kesempatan untuk melihat matahari dari pintu, ia berusaha menikmati keindahan dan kehangatannya.

“Selamat tinggal, matahari yang cerah,” tangisnya seraya merentangkan tangannya ke arah matahari. Kemudian ia berjalan keluar dari rumah, melewati jagung yang sudah dipanen dan menyisakan tunggul kering di ladang.

“Selamat tinggal, selamat tinggal,” ucapnya lagi kemudian melingkarkan lengannya di sekitar batang bunga merah kecil yang tumbuh di dekatnya. “Titipkan salamku kepada Burung Walet kecil, kalau kau bisa melihatnya.”

“Twit, twit,” mendadak terdengar suara burung dari atas kepalanya. Thumbelina pun mendongak dan mendapati Burung Walet terbang di dekatnya. Burung itu terlihat sangat senang ketika melihat Thumbelina. Begitu pula sebaliknya.

Thumbelina pun memberitahu sang Burung Walet bahwa Tikus Tanah berniat menikahinya tapi ia tak menginginkannya. Apalagi kalau ia harus tinggal di bawah bumi dan tak akan bisa melihat matahari yang cerah. Sang Gadis Jempol pun kemudian langsung menangis.

“Musim dingin yang membekukan akan segera datang,” ujar sang Burung Walet, “Dan aku berniat terbang ke negeri yang lebih hangat. Apakah kau tetap tak mau ikut denganku? Kau bisa duduk di punggungku dan mengikat tubuhmu menggunakan ikat pinggangmu. Kemudian kita bisa terbang menjauh dari Tikus Tanah jelek dan kamarnya yang suram itu.”

Pergi Bersama Burung Walet

Burung Walet itu pun kemudian melanjutkan lagi. “Di negeri jauh itu hanya ada musim panas, dan bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Terbanglah bersamaku sekarang, Si Kecil kesayanganku. Kaulah yang telah menyelamatkan hidupku ketika aku terbaring membeku di lorong yang gelap dan suram itu.”

“Baiklah, aku akan pergi bersamamu,” ucap Thumbelina. Ia pun kemudian duduk di punggung sang burung dengan kakinya menempel di bawah sayap yang terentang. Sementara tubuhnya diikat menggunakan ikat pinggang ke bulu Burung Walet dengan kuat.

Burung Walet itu naik ke udara kemudian terbang tinggi hingga melewati hutan, laut, dan gunung tertinggi yang tertutupi salju abadi. Thumbelina sebenarnya bisa saja membeku karena angin dingin, tapi untungnya ia bisa merayap di bawah bulu hangat burung itu.

Meskipun begitu, ia tak ingin menutupi kepala kecilnya sama sekali. Karena bagaimanapun juga, ia ingin tetap bisa mengagumi keindahan pemandangan yang ia lewati. Pada akhirnya, mereka pun sampai di negeri yang lebih hangat. Di mana matahari bersinar lebih terang dan langit terlihat lebih tinggi di atas bumi.

Di negeri itu, pagar tanaman dan pinggir jalan dipenuhi dengan anggur ungu, hijau, dan putih, buah lemon dan jeruk yang bergantungan di pohon. Kemudian, udaranya juga dipenuhi dengan aroma bunga murad dan jeruk. Anak-anak kecil yang cantik terlihat berlarian di sepanjang jalan pedesaan, bermain-main dengan kupu-kupu berukuran besar.

Burung Walet terbang semakin jauh dan semakin jauh, melewati setiap tempat yang terlihat lebih indah. Hingga pada akhirnya, mereka pun sampai di sebuah danau yang airnya berwarna biru. Di dekat situ, terlihat beberapa pepohonan berwarna hijau gelap dan sebuah istana marmer berwarna putih yang terlihat berkilauan, terlihat seolah dibangun sejak zaman dahulu kala.

Bertemu dengan Pangeran Peri Bunga

 Sumber: Wikimedia Commons

Di sekeliling pilar-pilar tinggi istana itu, terdapat tanaman merambat yang di puncaknya terdapat beberapa sarang burung walet. Salah satunya adalah rumah si Burung Walet yang sedang membawa Thumbelina.

“Ini adalah rumahku,” ujar si Burung Walet, “Tapi tempat itu tak akan cukup baik untukmu tinggal di sana. Kau pasti tak akan merasa nyaman di sana. Oleh karena itu, kau harus memilih sendiri salah satu dari bunga-bunga indah di bawah sana, dan aku pasti akan meletakkanmu di sana. Setelah itu, kau akan memiliki segala hal yang kau inginkan untuk membuatmu merasa bahagia.”

“Itu terasa menyenangkan,” ujar Thumbelina seraya bertepuk tangan kegirangan.

Di dekat sana terdapat sebuah pilar marmer besar yang tergeletak di tanah dan terlihat pecah menjadi tiga bagian karena terjatuh. Di antara potongan itu, tumbuhlah sebuah bunga besar berwarna putih yang sangat indah. Di sanalah sang Burung Walet menurunkan gadis yang tingginya tak lebih dari satu inci itu.

Betapa terkejutnya Thumbelina ketika baru turun ke salah satu kelopak bunga itu dan menemukan di tengah bunga itu ada seorang laki-laki berukuran mungil yang putih dan transparan seolah terbuat dari kristal. Pria itu memiliki sebuah mahkota emas di puncak kepalanya dan sayap tipis yang halus di bahunya. Tingginya pun tidak lebih besar dari Thumbelina.

Rupanya, pria itu adalah seorang peri bunga. Biasanya, ada seorang peri pria atau wanita yang tinggal di sebuah bunga. Dan peri yang memiliki mahkota itu rupanya adalah seorang pangeran.

“Oh, lihat betapa rupawannya pria itu,” bisik Thumbelina pada sang Burung Walet.

Menjadi Peri Bunga Maia

Sang Pangeran kecil itu awalnya terlihat ketakutan ketika melihat si Burung Walet. Karena bagaimanapun juga, burung itu terlihat seperti raksasa dibandingkan dengan makhluk kecil yang lembut seperti dirinya. Namun, ketakutan itu langsung berubah menjadi rasa bahagia ketika melihat Thumbelina yang cantik jelita.

Pangeran peri itu merasa kalau gadis mungil itu adalah perempuan paling cantik yang pernah ia temui di dunia. Bahkan, ia sampai melepaskan mahkota emas dari kepalanya kemudian meletakkany di atas kepala sang gadis. Ia pun kemudian menanyakan nama gadis tercantik itu dan menawarkan jika Thumbelina bersedia menjadi istrinya. Jika sang Gadis Jempol bersedia, nantinya ia akan menjadi Ratu semua bunga.

Thumbelina pun memikirkan itu baik-baik. Dibandingkan dengan menikahi Anak Katak atau Tikus Tanah yang mengenakan beludru hitam, tentunya akan berbeda jika ia menikahi sang pangeran tampan itu. Ia pun langsung mengiyakan permintaan sang pangeran.

Setelah itu, mendadak semua bunga yang ada di dekat mereka bermekaran. Dan dari dalam masing-masing bunga itu muncullah wanita dan pria yang berukuran kecil. Mereka semua memiliki wajah yang rupawan dan cukup menyenangkan untuk dilihat.

Masing-masing dari mereka membawakan hadiah untuk Thumbelina. Salah satu hadiah terbaiknya adalah sepasang sayap yang indah dan dibawakan oleh seekor lalat putih yang besar. Kemudian sayap tersebut diikatkan ke bahu sang Gadis Jempol agar ia bisa terbang dari satu bunga ke bunga lainnya.

Kemudian ada banyak kegembiraan setelah itu. Burung Walet yang duduk di pintu sarang mereka tepat di atas mereka pun menyanyikan lagu pernikahan sebaik mungkin. Namun, kini hatinya terasa begitu sedih, karena ia merasa seperti akan berpisah dengan gadis itu.

“Kini kau tak boleh dipanggil Thumbelina lagi,” ucap salah satu roh bunga. “Karena kecantikanmu, kini kami akan memanggilmu Maia.” Sejak saat itu, sang Gadis Jempol pun dikenal dengan nama Maia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *