Cerita Dongeng Pocahontas, Kisah Sang Putri Indian yang Berhasil Menghentikan Peperangan dengan Keberanian dan Kebaikan Hatinya
Bulan Mei adalah bulan yang indah di tanah suku Indian Algonquin. Ada banyak pohon-pohon tinggi dan bunga berwarna-warni di mana-mana. Langit dan laut pun terlihat berwarna biru tua.
Pocahontas adalah seorang putri Indian. Ia merupakan putri dari seorang Kepala Suku bernama Powhatan. Powhatan sendiri banyak dikenal sebagai seorang kepala suku Algonquin yang dikenal sangat kuat.
Saat itu, Pocahontas masih berusia sebelas tahun. Seluruh anggota suku Indian Algonquin mengakui bahwa putri Powhatan merupakan gadis muda yang cantik dengan rambut kelam dan mata gelapnya. Ia sering mengenakan gaun indah yang terbuat dari kulit rusa dan sepatu mokasin yang lentur dan terbuat dari kulit yang lembut. Ia juga mengenakan sebuah bulu sebagai penghias rambutnya yang panjang dan indah.
Sebagai seorang anak yang ceria, Pocahontas selalu terlihat senang dan membawa kebahagiaan pada orang-orang di sekitarnya. Ia sering kali menghabiskan harinya dengan berlari di hutan atau menari di ladang. Jika tidak sedang menari dan bernyanyi bersama para hewan, ia akan duduk di atas bukit dan memandangi laut biru di kejauhan.
Pada tanggal 6 Mei 1607, seperti biasanya Pocahontas duduk di atas bukit dan menikmati pemandangan indahnya laut di kejauhan. Mendadak, ia melihat sesuatu yang sangat aneh di tengah laut dan sedang menuju ke arah teluk.
Pocahontas pun merasa penasaran dan memicingkan matanya untuk bisa memperhatikan lebih baik. Kira-kira apakah benda aneh yang berukuran sangat besar itu?
Kedatangan Kapal Layar Orang Kulit Putih
Rupanya, benda aneh itu adalah sebuah kapal layar yang sangat besar. Betapa terkejutnya Pocahontas ketika melihat kapal layar itu. Baginya dan tentunya seluruh anggota suku Indian Algonquin, kapal layar adalah sesuatu yang baru dan aneh. Kapal tersebut memiliki layar berwarna putih yang sangat besar dan juga bendera.
Putri Powhatan itu terus saja memperhatikan kapal layar itu dalam waktu yang cukup lama. Berbagai macam pertanyaan langsung muncul di dalam kepala gadis sebelas tahun itu. Dari mana asalnya kapal layar itu? Mengapa kapalnya datang ke tanah mereka? Jauh di dalam hatinya, Pocahontas merasa sangat bersemangat.
Ia pun kemudian langsung bangkit dari duduknya dan berlari menuruni bukit menuju ke desanya. Gadis muda itu sama sekali tidak mempedulikan sapaan dari para anggota suku Indian Alonquin di sepanjang jalan. Ia sudah tak sabar ingin bisa segera memberi tahu berita tentang kedatangan kapal layar itu kepada ayah dan saudara laki-lakinya.
“Ayah! Ayah!” teriaknya memanggil sang ayah ketika sudah sampai di rumah. “Aku melihat ada kapal layar berukuran sangat besar di teluk! Kapal itu memiliki layar putih dan bendera yang berwarna-warni!”
Ayahnya, Kepala Suku Powhatan, saat itu sedang duduk santai di luar rumah panjangnya. Ia adalah seorang pria yang jangkung dan memiliki rambut hitam yang panjang. Ia juga mengenakan sebuah bulu yang menandakan statusnya sebagai seorang kepala suku Indian di kepalanya.
Ketika mendengar informasi dari putrinya, Powhatan terlihat sama sekali tidak senang.
“Orang kulit putih sudah tiba di sini,” ujarnya dengan geram dan nada penuh kesedihan. “Ini adalah sebuah berita buruk untuk rakyat kita semua. Tak akan pernah ada perdamaian dengan orang kulit putih di negeri ini.”
Ingin Melihat Orang Kulit Putih yang Datang
Sumber: Wikimedia CommonsBersama sang ayah, ada juga saudara laki-laki Pocahontas yang bernama Nantaquas. Pria itu adalah seorang pejuang Indian berusia delapan belas tahun yang sangat kuat. Dengan penuh ketenangan agar tak menambah amarah ayahnya, ia pun memandang ke arah adiknya kemudian berkata, “Di masa lalu, orang kulit putih banyak membunuh orang Indian. Hal itu dilakukan karena mereka ingin mengambil tanah kita.”
“Oh, Nantaquas, ayolah mari kita pergi melihat orang-orang kulit putih itu,” ucap Pocahontas seolah tak mendengarkan ucapan kakak laki-lakinya. “Aku sangat ingin melihat kapal layar mereka yang besar.”
“Kau boleh saja pergi untuk melihat orang-orang itu. Akan tetapi ingatlah untuk jangan pernah mendekati kapal mereka. Usahakan untuk selalu menjauhinya. Dan teruslah berhati-hati,” ujar Powhatan berusaha mengingatkan putrinya. “Ingatlah selalu, Pocahontas, orang kulit putih itu sangat berbahaya!”
Dengan berbekal pesan dari sang ayah, Pocahontas dengan ditemani oleh Nantaquas kemudian pergi ke arah sungai, khususnya ke wilayah tempat suku Indian Algonquin menyandarkan kano mereka di tepi sungai. Mereka berdua kemudian naik ke salah satu sampan kecil.
Nantaquas mendayung sampan tersebut menyusuri sungai hingga akhirnya sampai ke teluk. Di teluk, mereka bisa melihat kapal layar berukuran besar yang sedang diparkirkan di sana. Di atas kapal tersebut, ada seorang pria berkulit putih yang tinggi sedang berdiri.
Pria asing itu langsung tersenyum ketika bertemu mata dengan Pocahontas dan Nantaquas. Selain sang pria yang tersenyum itu, di atas kapal juga ada pria berkulit putih yang lainnya. Mendadak, mereka semua juga melihat ke arah kano yang dinaiki Nantaquas dan adiknya.
Pocahontas sendiri balik tersenyum kepada pria berkulit putih itu. “Ayo kita pergi ke arah kapal itu,” ucapnya kepada Nantaquas.
Keputusan Powhatan Terkait Orang Kulit Putih
“Tak boleh,” ujar Nantaquas dengan tegas. “Itu sangat berbahaya. Kita sama sekali tidak mengetahui siapa orang-orang berkulit putih ini. Kita harus tetap mematuhi perintah dari ayah. Akan lebih baik jika kita hanya melihat dari jauh kemudian pulang.”
Sementara itu, si pria berkulit putih yang ada di atas kapal kembali tersenyum ke arah mereka berdua.
“Lihatlah itu, Nantaquas,” ujar Pocahontas benar-benar tidak mengindahkan ucapan kakak laki-lakinya. “Pria itu memiliki kulit yang sangat putih dan rambut berwarna merah. Dia juga terlihat sedang tersenyum pada kita. Coba lihatlah pakaian yang ia kenakan. Betapa anehnya pakaian itu!”
Tanpa memedulikan ucapan adiknya itu, Nantaquas kemudian memutar kano dan kembali mengayuh ke arah sungai. Ia berniat untuk kembali lagi pulang ke rumah.
Setelah melalui perjalanan panjang di sungai, mereka pun kembali sampai di rumah. Sesampainya di rumah, Nantaquas langsung menemui ayahnya dan melaporkan, “Aku benar-benar melihat ada sebuah kapal layar besar yang bersandar di teluk, Ayah. Dan benar saja, ada banyak orang kulit putih di kapal itu.”
Setelah mendengar laporan dari putranya, Powhatan kemudian pergi untuk menemui para tabib dan para penasihat suku. Mereka semua berkumpul dan duduk di dalam rumah panjang untuk berdiskusi untuk jangka waktu yang cukup lama.
Setelah pembicaraan yang cukup lama itu, Powhatan akhirnya membuat sebuah keputusan.
“Orang kulit putih pernah membawa suatu masalah bagi kita. Mereka semua memiliki sebuah sihir yang sangat aneh. Mereka pasti membawa tongkat petir yang akan digunakan untuk membunuh orang-orang kita. Kedatangan mereka berniat untuk mengambil tanah kita, danau kita, sungai kita, dan juga hutan kita. Oleh karena itu, mereka boleh saja tinggal di sini sebentar, tapi tidak boleh tinggal selamanya. Kita harus selalu memperhatikan mereka dan apa yang akan mereka lakukan!”
Tentang Kapten John Smith dan Anak Buahnya
Pria berkulit putih yang berdiri di anjungan kapal dan tersenyum kepada Pocahontas juga Nantaquas itu rupanya bernama Kapten John Smith. Sang kapten datang dari negeri Inggris Raya untuk mencari tanah baru yang bisa mereka tinggali.
Ketika sampai ke wilayah yang mereka beri nama Chesapeake Bay, Kapten John Smith dan para anak buahnya merasa sangat senang. Mereka langsung merencanakan untuk mendirikan pemukiman kecil di sana. Khususnya karena di dekat situ terdapat aliran sungai berukuran besar yang bisa menjadi sumber pengairan mereka. Oleh sang Kapten, sungai besar itu diberi nama Sungai James, sama seperti nama Raja James I yang sedang menjabat di Inggris Raya.
Pada tanggal 13 Mei 1607, Kapten John Smith mendirikan sebuah pemukiman kecil yang diberi nama Jamestown. Para pemukim yang baru datang dari Inggris Raya pun mulai membangun beberapa gubuk, gudang, dan juga gereja di Jamestown.
Setidaknya, kini ada sekitar 100 orang yang tinggal di Jamestown pada saat itu. Kebanyakan dari mereka adalah pria yang berasal dari Inggris Raya. Mereka semua datang ke pulau yang mereka sebut sebagai Dunia Baru itu untuk menemukan emas dan kejayaan.
Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang mau menjadi seorang petani. Tentu saja hal itu membuat Kapten John Smith marah. Ia selalu berusaha mengingatkan para pemukim baru itu untuk tidak bermalas-malasan dan mencoba untuk bercocok tanam, berburu, dan memancing.
Hal itu disebabkan karena di Jamestown sendiri tidak ada banyak sumber makanan. Oleh karena itu, mereka harus berusaha melakukan berbagai macam cara jika ingin bisa terus menjalani hidup di Jamestown.
Kapten John Smith Ditangkap Suku Indian
Pada suatu hari, Kapten John Smith dan anak buahnya berangkat pergi ke hutan untuk mencari makanan dan berburu. Namun, rupanya proses berburu itu tidak mudah. Setelah berjalan untuk waktu yang lama, mereka tetap saja tak bisa menemukan hewan yang bisa diburu.
Yang ada, mereka justru bertemu dengan sekelompok orang Indian yang juga terlihat sedang berburu. Karena terjadi kesalahpahaman, mereka justru menjadi saling menyerang.
Kaum suku Indian Algonquin menyerang orang-orang berkulit putih menggunakan busur dan anak panahnya. Mereka berhasil membunuh salah satu dari anak buah Kapten John Smith. Sementara itu, Kapten John Smith dan anak buahnya membunuh dua orang dari suku Indian Algonquin. Hal itu membuat seluruh anggota suku Indian marah dan memutuskan untuk menangkap John Smith dan membawanya pergi.
Para anggota suku Indian itu membawa John Smith kembali ke wilayah kekuasaan Algonquin. Setelah melakukan perjalanan cukup jauh, akhirnya mereka tiba di hadapan Kepala Suku Powhatan dan seluruh anggota suku yang lain.
Semua orang yang hadir di sana hanya bisa terdiam. Begitu pula dengan Pocahontas yang sedang berdiri tepat di samping ayahnya. Ia memperhatikan John Smith baik-baik. Bagi sudut pandang Pocahontas yang masih muda, pria asing berkulit putih itu terlihat sangat tinggi. Kemudian gadis muda itu memperhatikan rambut merah, mata biru, dan kulit putih John Smith. Pria itu benar-benar terlihat berbeda jika dibandingkan dengan pria Indian yang sering ia temui selama ini.
Sihir Orang Kulit Putih
Sumber: Wikimedia CommonsYang membuat Kapten John Smith terlihat semakin menawan adalah ketika pria itu berbicara menggunakan bahasa isyarat dan beberapa kata dalam bahasa Indian.
“Kepala Suku yang agung, saya datang kemari sebagai seorang teman. Anak buah saya dan juga saya hanya ingin hidup damai berdampingan dengan suku Anda.” Kurang lebih begitulah isi dari pembicaraan Kapten John Smith.
Sayangnya, Powhatan dan juga para tabib sama sekali tidak menyukai pria berkulit putih itu. John Smith kemudian memberikan kompasnya kepada sang kepala suku.
Powhatan memperhatikan kompas itu dan memutarnya beberapa kali di tangannya. Ia merasa kebingungan kenapa jarumnya selalu menunjuk ke arah yang sama. Sang kepala suku kemudian berusaha menyentuh jarum itu, tapi anehnya di atas jarum itu terdapat sepotong es yang menutupinya. Yang menjadikannya semakin aneh, potongan es itu sama sekali tidak dingin dan tak juga meleleh.
Hal itu membuat Powhatan meyakini bahwa benda itu adalah sebuah sihir. Seluruh anggota suku Indian Algonquin juga melihat ke arah kompas tersebut. Mereka semua juga terkejut dan meyakini kalau kompas itu adalah sihir orang kulit putih. Mereka pun semakin merasa tidak menyukai sang pria berkulit putih itu.
Di lain sisi, tidak seperti teman-teman satu sukunya yang lain, Pocahontas justru menyukai Kapten John Smith dan juga sihir yang dibawanya. Sayangnya, karena sore hari itu Kapten John Smith dan anak buahnya telah membunuh dua orang dari suku Indian, Kepala Suku Powhatan dan anggota suku yang lain menjadi terbakar amarah. Mereka semua meyakini kalau bagaimanapun juga, John Smith harus dihukum mati.
Kapten John Smith Diselamatkan oleh Putri Powhatan
Dua orang pejuang suku Indian Algonquin langsung mendorong Kapten John Smith sampai tersungkur ke tanah. Kemudian, mereka meletakkan kepala sang pria kulit putih di atas sebuah batu yang berukuran sangat besar. Para anggota suku Indian itu lalu mengambil batu yang berukuran sangat besar. Mereka benar-benar berniat membunuh sang kapten berkulit putih itu.
Ketika melihat hal itu, Pocahontas langsung berteriak, “Tidak, Ayah! Kumohon jangan membunuhnya. Dia bukanlah orang yang jahat!”
Meskipun begitu, Powhatan langsung menanggapi, “Tidak! Pria berkulit putih dan juga anak buahnya telah membunuh dua orang dari suku Indian. Oleh karena itu dia harus mati!”
Dua orang suku Indian sudah bersiap untuk membunuh Kapten John Smith. Bahkan, salah satu anggota suku Indian sudah bersiap mengangkat tangannya.
“Tidak!” ucap Pocahontas. Gadis mudah berambut kelam itu langsung melompat maju dan meletakkan kepalanya sendiri tepat di atas kepala Kapten John Smith. “Kumohon, Ayah! Dia tidak boleh mati! Kau harus menyelamatkannya!” pinta Pocahontas dengan nada sangat memohon.
Powhatan hanya bisa menatap putri kesayangannya itu. Setelah beberapa lama, ia langsung menuruh kedua orang suku Indian untuk berhenti melanjutkan eksekusinya. Semua orang yang hadir di sana terkejut akan keberanian Pocahontas yang pada akhirnya menyelamatkan nyawa Kapten John Smith.
Pada akhirnya, sang kapten pun dibebaskan dan diizinkan untuk kembali ke koloninya. Mereka pun berusaha untuk hidup berdampingan dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan. Mereka berusaha untuk saling menghormati dan tidak mengganggu satu sama lain.
Persahabatan Pocahontas dan John Smith
Sumber: Wikimedia CommonsSejak saat itu, Pocahontas dan John Smith menjadi teman baik. Kapten John Smith mengajari bahasa Inggris pada Pocahontas, dan sebaliknya, gadis muda berambut kelam itu akan mengajari bahasa Indian pada sang Kapten.
Tak hanya itu, sesekali Kapten John Smith akan membawakan manik-manik dan pernak pernik yang indah untuk putri Powhatan itu. Ia juga menceritakan tentang London dan gedung-gedungnya yang besar. Pocahontas senang sekali mendengarkan cerita-cerita dari Kapten John Smith.
“Raja Inggris bernama Raja James I. Ia tinggal di sebuah istana yang indah di London,” ucap John Smith pada satu ceritanya.
“Apakah dia adalah ketua sukumu?” tanya Pocahontas dengan penuh rasa ingin tahu.
“Benar, dia adalah pemimpin kami,” jawab John Smith.
“Pakaian seperti apa yang biasanya dikenakan oleh para wanita di Inggris?”
“Mereka biasanya mengenakan gaun yang panjang, sepatu, dan juga topi. Mereka juga mengenakan perhiasan.”
“Apakah para wanita Inggris berparas rupawan?” tanya Pocahontas masih penasaran.
“Tentu saja beberapa terlihat sangat cantik,” jawab John Smith, “Tapi ada banyak juga yang tidak.” Jawaban itu membuat Pocahontas tertawa terpingkal-pingkal. Meskipun begitu, jauh di dalam hatinya, ia mulai membayangkan tentang London dan berharap bisa mendatangi negeri yang berada jauh dari tempatnya tinggal sekarang itu.
Musim panas yang membakar itu kini telah berlalu dan berganti menjadi musim gugur yang sejuk. Sayangnya, para pemukim yang tinggal Jamestown kini semakin kesusahan karena mereka hanya memiliki sedikit makanan untuk dikonsumsi. Semakin banyak pemukim yang menjadi lebih lemah dan mulai sakit-sakitan. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan.
Musim Dingin yang Membekukan Jamestown
Ketika musim dingin tiba, para penghuni kota Jamestown benar-benar sudah tak lagi memiliki makanan yang tersisa. Pocahontas yang sedang datang berkunjung pun terkejut melihat hal itu. Ia mulai memikirkan bagaimana cara membantu para pemukim kota tersebut.
Sang putri Powhatan itu pun meminta jagung, daging, dan beberapa makanan lain kepada ayahnya. Bersama beberapa orang suku Indian lainnya, ia membawa makanan tersebut menggunakan keranjang besar ke Jamestown. Berkat bantuan putri Indian yang pemberani dan baik hatinya itu, para pemukim di Jamestown pun akhirnya berhasil menghadapi musim dingin yang membekukan dan berat itu.
Beberapa waktu kemudian, ada kapal lain yang datang dari Inggris Raya ke Jamestown. Powhatan benar-benar tidak senang dengan kedatangan kapal itu. Karena itu artinya, akan ada jauh lebih banyak pria kulit putih yang datang ke Dunia Baru alias negeri mereka. Powhatan benar-benar takut akan kedatangan pria berkulit putih itu. Ia takut akan masa depan dari suku mereka.
Sehingga pada suatu hari di musim dingin, Powhatan mengirim seorang warga suku Indian ke Jamestown untuk menemui John Smith. Ia berniat mengirimkan pesan untuk sang Kapten.
“Kepala suku Powhatan memintamu untuk menemuinya karena ingin berbicara denganmu. Kalau bisa, kau harus mengikutiku sekarang,” ucap sang pengantar pesan.
Tanpa menunggu lama, Kapten John Smith langsung mengikuti utusan itu menuju desa suku Indian Algonquin. Powhatan sendiri sudah menunggu di rumah panjangnya. Setelah sampai di rumah panjang itu, John Smith langsung duduk di samping sang kepala suku.
Kunjungan ke Kabin Kecil di Tepi Sungai
Sumber: Wikimedia Commons“Kami sudah tak lagi memiliki makanan untuk dibagikan kepada orang-orangmu,” ucap Powhatan tanpa berbasa basi sama sekali. “Oleh karena itu, kalian semua harus meninggalkan negeri ini sekarang juga.”
“Kenapa kami harus pergi?” tanya John Smith dengan tenang.
Kedua pria itu terus saja mengobrol dan berdiskusi dalam waktu lama. Hingga tanpa sadar, malam pun tiba. Karena sudah terlalu gelap untuk kembali ke Jamestown, Powhatan kemudian berkata, “Sekarang sudah terlampau larut untukmu kembali ke Jamestown. Kalau mau, kau bisa tidur di pondok kecil yang ada di dekat sungai.”
Kapten John Smith pun menerima tawaran itu. Setelah berpamitan, ia langsung menuju ke kabin kecil yang dimaksud untuk beristirahat di sana. Baru saja ia beristirahat sebentar, mendadak ia mendengar suara ketukan pintu yang berulang dan sangat cepat. Karena khawatir suara ketukan cepat itu menandakan adanya suatu masalah, John Smith langsung bergegas beranjak untuk membuka pintu.
Betapa terkejutnya ia ketika menemukan Pocahontas ada di balik pintu. “Tidak kusangka aku akan bertemu denganmu, Pocahontas. Ada keperluan apa? Ayo silakan masuk!”
Namun, gadis muda itu tidak langsung masuk. Ia justru bergeming di luar pintu dengan wajah pucat. “Oh, Kapten Smith, tidak sadarkah kau kalau hidupmu dalam bahaya? Ayahku dan para tabib kini sedang merencanakan untuk membunuhmu malam ini juga. Mereka sama sekali tak ingin ada orang kulit putih yang masih tinggal di sini. Seharusnya kau melarikan diri dari sini sekarang juga.”
Semakin Banyak Warga Kulit Putih yang Datang
“Putri Pocahontas tersayang, kau telah menyelamatkan hidupku lagi. Bagaimana caraku bisa berterima kasih padamu? Adakah sesuatu yang bisa kuberikan padamu?” tanya Kapten John Smith.
“Kau tak perlu memberikan apa-apa padaku, Kapten. Yang perlu kau lakukan sekarang adalah lari sejauh-jauhnya dari tanah ini. Selamatkanlah dirimu sekarang juga!” ujar Pocahontas seraya menyentuh tangan sang Kapten sebentar sebelum akhirnya pergi dari sana.
Seperti permintaan sang putri, John Smith langsung berlari keluar dari kabin kecil di tepi sungai itu. Kemudian ia berjalan menuju ke Jamestown di tengah malam yang gelap. Sesampainya di Jamestown, ia langsung memberitahu seluruh pemukim di sana bahwa Pocahontas telah menyelamatkan hidupnya lagi. Selain itu, sang Kapten juga memberitahu bahwa ia akan kembali ke Inggris demi keselamatannya.
Keesokan harinya ketika matahari mulai naik, Kapten John Smith dan sebagian anak buahnya menaikkan layar dan kembali ke Inggris Raya. Semua warga suku Indian yang tinggal di desa Pocahontas mengira bahwa Kapten John Smith kini telah mati. Mereka semua beranggapan bahwa Kapten John Smith terbunuh oleh ledakan mesiu.
Meskipun Kapten John Smith telah kembali ke Inggris raya, tapi tetap saja semakin banyak pemukim berkulit putih yang datang ke Jamestown. Bahkan, kini mereka membentuk sebuah koloni yang diberi nama Koloni Virginia.
Tentu saja hal itu membuat kepala suku Powhatan terbakar amarah. Ia langsung mendeklarasikan peperangan pada seluruh anggota koloni kecil itu. Sejak saat itu, berbagai peperangan kecil banyak terjadi antara Koloni Virginia dan anggota suku Indian Algonquin.
Pocahontas Tinggal Bersama Suku Indian Potomac
Hingga akhirnya bertahun-tahun telah berlalu dan kini Pocahontas telah tumbuh menjadi gadis remaja yang rupawan. Putri dari Powhatan itu kini telah berusia tujuh belas tahun. Tentunya hal itu membuat Powhatan merasa ia harus melindungi putri kesayangannya itu dari orang-orang yang berniat membunuhnya.
Salah satu caranya untuk melindungi si buah hati adalah dengan mengirim Pocahontas ke suku Indian Potomac. Orang-orang di suku Indian tersebut bisa dibilang adalah teman dekat orang-orang berkulit putih. Oleh karena itu, bisa dibilang kalau Pocahontas akan lebih aman ketika bersama suku Indian Potomac.
Tak lupa, Powhatan pun memberi pesan kepada putrinya, “Kau harus tinggal bersama suku Indian Potomac dahulu selama beberapa saat. Namun, ingatlah untuk tak pergi ke Jamestown. Karena bagaimanapun juga, kita sedang berperang melawan orang-orang yang tinggal di Jamestown.”
“Baik, ayah,” jawab Pocahontas menurut. Setelah beberapa saat, putri dari Powhatan itu akhirnya berangkat pergi ke desa suku Indian Potomac.
Pocahontas benar-benar menyukai hidupnya bersama suku Indian Potomac. Suku tersebut dipimpin oleh Kepala Suku Japazaws. Karena kedekatan Putri Powhatan dengan sang kepala suku, akhirnya Pocahontas berteman baik dengan istri Japazaws.
Kepala Suku Japazaws sendiri rupanya adalah teman dekat Kapten Samuel Argali. Sang kapten adalah seorang penjelajah dari Inggris yang tinggal di Jamestown.
Pada suatu hari, seperti biasanya Kapten Samuel Argali pergi mengunjungi Kepala Suku Japazaws. Saat itu, kebetulan saja Pocahontas sedang berkunjung juga untuk menemui istri sang kepala suku.
Ketika melihat Pocahontas, mendadak Kapten Samuel Argali berkata kepada Japazaws, “Datanglah untuk melihat kapalku! Aku ingin menunjukkan banyak hal menarik padamu. Kita juga bisa makan di atas kapal.”
Pocahontas Ditangkap Kapten Argali
“Kau benar-benar orang yang baik,” ucap Pocahontas dengan santun menanggapi ucapan Kapten Argali, “Aku juga ingin melihat bagian dalam kapal Inggris.”
Rupanya, Kepala Suku Japazaws dan istrinya juga belum pernah melihat kapal layar itu. Oleh karena itu, mereka pun setuju untuk melihat kapal itu bersama-sama.
Segera sesudahnya, Kapten Samuel Argali mengajak Pocahontas, Kepala Suku Japazaws, dan juga istri sang kepala suku menuju ke kapal layar. Mereka pun melihat-lihat ke sekeliling kapal besar itu bersama-sama. Tak lupa, mereka juga makan hidangan yang enak di atas kapal.
Hal itu membuat Pocahontas merasa sangat senang dan mengungkapkan kebahagiaannya dengan berkata, “Terima kasih atas hari yang menyenangkan ini, Kapten Argali.”
Tanpa terasa, matahari pun akhirnya terbenam. Kepala Suku Japazaws beserta istrinya kemudian berpamitan dan meninggalkan kapal tersebut menggunakan kano. Namun, Pocahontas tidak diizinkan untuk pergi. Rupanya, ia telah dijebak oleh Kapten Argali dan kini menjadi tawanan di kapal tersebut.
“Kenapa aku tak diizinkan untuk pergi bersama teman-temanku?” tanya Pocahontas pada sang Kapten. Ia hanya bisa melihat kano yang dinaiki oleh teman-temannya dari kejauhan. Dapat terlihat jelas kalau istri Kepala Suku Japazaws membawa sebuah ketel tembaga baru dan sekeranjang penuh manik-manik berwarna di kanonya.
Pocahontas pun baru menyadari bahwa rupanya sang kepala suku dan istrinya telah membantu Kapten Samuel Argali untuk menangkap Pocahontas. Ketel tembaga dan manik-manik berwarna itu merupakan bayaran atas bantuan mereka.
Putri Powhatan itu pun langsung menangis kencang. Ia merasa sedih karena baru menyadari bahwa rupanya ia sama sekali tidak memiliki teman sejati.
Menjadi Tawanan yang Bahagia
“Apa yang sedang terjadi? Kenapa aku menjadi tahanan?” Pocahontas bertanya-tanya.
Kapten Argali pun akhirnya menjelaskan, “Sebenarnya aku tak berniat menyakitimu, Pocahontas. Aku hanya ingin membawamu ke Jamestown dan menahanmu di sana. Aku pasti akan membebaskanmu dan mengembalikanmu kembali setelah ayahmu mengembalikan seluruh senjata kami yang telah ia ambil. Sesudahnya kau bisa kembali ke rumahmu. Ayahmu mencintaimu. Oleh karena itu ia harus mengembalikan senjata itu.”
Untungnya, meskipun menjadi tahanan, Pocahontas sama sekali tidak takut pada Kapten Argali. Ia pun tidak merasa takut pada orang kulit putih. Oleh karena itu, gadis itu hanya menurut saja ketika diajak ke Jamestown.
Siapa sangka rupanya seluruh warga Jamestown masih mengingat Pocahontas dengan baik. Mereka juga ingat bahwa Pocahontas lah yang menyelamatkan nyawa Kapten John Smith sebanyak dua kali. Belum lagi, semua orang masih ingat kalau putri Powhatan itu pernah membawakan makanan untuk mereka selama musim dingin yang panjang. Itu sebabnya, semua orang di Jamestown menyukai Pocahontas dan menyambutnya dengan baik juga ramah.
Kini, Pocahontas memiliki beberapa teman perempuan baru di Jamestown. Para wanita tersebut memberinya pakaian dan gaun Inggris yang indah. Bagaimanapun juga, Pocahontas adalah gadis muda yang cantik. Kini penampilannya semakin terlihat rupawan dengan gaun indah itu.
Selain itu, gadis dari suku Indian Algonquin itu pun kini mempelajari tata krama dan adat istiadat Inggris. Temannya di Jamestown kini semakin banyak, dan tidak seperti istri dari Kepala Suku Japazaws, mereka semua berteman baik dengan Pocahontas.
Pocahontas Bertemu dan Jatuh Cinta dengan John Rolfe
Tak hanya itu, Pocahontas pun mulai mempelajari tentang agama dan memeluk agama Kristen. Sesudah itu, ia mendapatkan nama Kristen, Rebecca.
Sayangnya, Powhatan sama sekali tidak berniat mengembalikan senjata milik penduduk Jamestown. Yang ada, kepala suku Indian Algonquin itu justru mengirimkan beberapa karung jagung dan senjata yang sudah dirusak.
Tentunya hal itu membuat Kapten Argali merasa sangat marah karena rencananya tidak berhasil. Pada akhirnya, peperangan itu pun terus berlanjut dan Kapten Argali memutuskan untuk tetap menyimpan Pocahontas di Jamestown.
Namun, meskipun menjadi seorang tawanan, Pocahontas sama sekali tidak merasa sedih. Ia sangat menyukai kehidupannya selama di Jamestown karena ia bisa mempelajari hal baru setiap hari.
Setelah beberapa bulan tinggal di kota koloni itu, pada suatu hari Pocahontas bertemu dengan John Rolfe. Pria itu adalah seorang petani tembakau muda yang tinggal di Jamestown. Kebaikan hati John Rolfe membuat Pocahontas jatuh hati pada pemuda itu. Rupanya, perasaan itu berbalas dan John Rolfe pun menyukai sang putri.
Kehidupan mereka selama di Jamestown selalu dipenuhi dengan kebahagiaan, sehingga akhirnya John Rolfe menyatakan bahwa ia ingin menikahi Pocahontas. Namun, sang putri tak bisa langsung menjawab lamaran itu. Ia berniat untuk berbicara pada ayahnya terlebih dahulu. Akhirnya mereka berdua pun merencanakan untuk pergi ke desa suku Indian Algonquin dan menemui Powhatan.
Untungnya, Powhatan menerima kunjungan dari Pocahontas dan John Rolfe. Bahkan, sang kepala suku terlihat sangat senang karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan buah hati yang ia sayangi.
Pernikahan Pocahontas dan John Rolfe
“Ayah, pria yang ikut denganku ini adalah John Rolfe. Aku bertemu dengannya di Jamestown. Ia adalah pria yang baik dan aku sangat mencintainya. Kini, aku ingin menikahinya. Oleh karena itu aku datang kemari untuk meminta izin darimu,” ujar Pocahontas kepada ayahnya. Ia sempat khawatir kalau ayahnya tak akan memberikan izin padanya.
Namun, siapa sangka kalau rupanya Powhatan justru memeluk putrinya dan juga John Rolfe. Kemudian, ia berkata, “Sekarang kau adalah seorang wanita muda, Pocahontas. Sudah waktunya bagimu untuk menikah dengan pria yang benar-benar kau cintai.”
“Kepala suku yang bijaksana, juga benar-benar mencintai putri Anda dan aku berjanji akan selalu menjaganya,” ucap John Rolfe bersungguh-sungguh.
Pada bulan April 1614, Pocahontas akhirnya menikah dengan John Rolfe di Gereja Anglikan yang ada di Jamestown. Putri dari Powhatan itu menjadi warga Indian pertama yang menikah dengan pria berkulit putih. Pada pesta pernikahannya itu, Pocahontas mengenakan gaun berwarna putih yang sangat indah. Tak hanya itu, ia juga menghias rambutnya dengan bunga-bunga indah.
Sepanjang hari yang spesial itu, John Rolfe dan istrinya tertawa dan menari dengan penuh kebahagiaan. Semua orang yang tinggal di Jamestown pun merayakan pernikahan itu dengan pesta besar. Sepanjang hari terdengar musik mengalun dan semua orang menari. Tak hanya itu, para anggota suku Indian dan juga Nantaquas datang untuk turut serta merayakannya.
Mereka semua berteman baik dan duduk berdampingan mengelilingi meja panjang. Ada banyak sekali jamuan enak yang bisa dinikmati bersama-sama. Pernikahan antara Pocahontas dan John Rolfe telah berhasil membawa perdamaian dalam Koloni Virginia.
Akhir Kehidupan Pocahontas
Tak lama setelah mereka menikah, Pocahontas dan John Rolfe pergi ke London. Betapa terkejutnya sang putri ketika melihat banyak sekali hal baru yang tak pernah ia ketahui sebelumnya di Inggris. Ada banyak orang yang mengenakan gaun yang indah.
Menariknya, semua orang ingin bertemu dengan putri Indian yang rupawan itu. Pocahontas pun bertemu dengan banyak orang penting di London. Bahkan, ia juga bertemu dengan Raja James I. Tak lupa, ia juga bertemu kembali dengan John Smith setelah sekian tahun lamanya.
Setelah bertemu, mereka banyak mengobrol tentang petualangan mereka selama berada di Jamestown.Semua orang benar-benar menyukai sang putri Indian.
Pocahontas dan John Rolfe kemudian memiliki seorang putra. Putra tersebut diberi nama Thomas. Kehidupan mereka bertiga selama berada di London selalu dipenuhi dengan kebahagiaan.
Sayangnya, tak lama setelah kelahiran Thomas, Pocahontas jatuh sakit. Penyakitnya begitu parah hingga akhirnya sang putri Indian meninggal dunia di Inggris pada tahun 1617, ketika usianya 21 tahun.
Kematian yang putri menjadi sebuah peristiwa yang sangat tragis. Banyak orang langsung berduka untuknya. Seluruh warga di penjuru Inggris Raya selalu mengingat putri Indian yang pemberani itu.
John Rolfe sendiri merasa sangat patah hati sepeninggal istri kesayangannya. Ia merasa tak akan bisa lagi tinggal di Inggris Raya. Pada akhirnya ia pun memutuskan untuk kembali ke Virginia menjadi petani tembakau. Setelah beberapa tahun, ia menjadi seorang petani tembakau yang penting dan memiliki perkebunan tembakau yang sangat luas.
Sementara itu, Thomas yang masih muda dididik di Inggris oleh pamannya, Henry Rolfe. Setelah ia tumbuh dewasa, ia pergi ke Amerika untuk mengunjungi tanah kelahiran ibundanya. Di sana, ia bertemu dengan anggota suku Indian Algonquin yang masih ada.
Thomas menyukai kehidupan di Dunia Baru dan menetap di sana. Hingga sekarang, masih ada keturunan dari Thomas Rolfe, putra dari Pocahontas, yang tinggal di Virginia.