KUMPULAN CERITA RAKYAT

Kumpulan Seluruh Cerita Rakyat Indonesia dan International

CERITA INDONESIA

Legenda Ki Ageng Mangir dari Yogyakarta dan Ulasan Menariknya

Ada banyak legenda menarik dan penuh pesan moral dari Yogyakarta yang bisa dijadikan dongeng sebelum tidur. Salah satunya adalah cerita sejarah tentang seorang tokoh masyarakat bernama Ki Ageng Mangir.

Ia merupakan seorang pemimpin di wilayah Mangir, sebuah dusun yang kini berada di daerah Kabupaten Bantul. Bisa dibilang, ia adalah musuh sekaligus menantu dari Raja Kerajaan Mataram yang pertama, Panembahan Senopati. Lho, kok bisa, ya?

Daripada cuma penasaran, langsung saja simak ulasan yang telah kami siapkan di bawah ini. Selain cerita sejarahnya, kamu juga bisa mengetahui ulasan seputar unsur intrinsik dan fakta menariknya. Selamat membaca!

Cerita Rakyat Ki Ageng Mangir

 Sumber: Twitter – khrsnrdn

Pada zaman dahulu kala, ketika era Kesultanan Demak dan Pajang berakhir, muncullah Kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, putra dari Ki Ageng Pemanahan. Dalam menjalankan kerajaan tersebut, Panembahan Senopati dibantu oleh patihnya yang sangat cerdas mengatur strategi, Ki Juru Martani.

Sebagai seorang raja, Panembahan Senopati ingin bisa menguasai seluruh wilayah Mataram. Sayangnya, setelah beberapa kali mencoba, ia masih saja belum mendapatkan hasil yang ia inginkan. Karena bagaimanapun juga, beberapa penguasa wilayah tidak mau tunduk pada kekuasaannya. Salah satu di antaranya adalah Ki Ageng Mangir Wanabaya.

Pria tersebut merupakan penguasa daerah Mangir, sebuah desa perdikan atau desa yang tidak memiliki kewajiban membayar upeti kepada Kerajaan Mataram. Desa itu terletak sekitar 30 km dari Mataram, di dekat pertemuan Sungai Progo dan Sungai Bedok, yang kini terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Baginya, Desa Mangir tidak memiliki kewajiban untuk harus tunduk pada kekuasaan Mataram.

Oleh karena itu, bagi Panembahan Senopati, Desa Mangir dan seluruh warga dan pemimpinnya adalah duri dalam daging yang harus segera disingkirkan. Ia pun sampai berunding dengan Ki Juru Martani untuk membuat rencana menyerang Mangir.

Namun, sang patih menolak rencana tersebut. Menurutnya, Ki Ageng Mangir bukanlah lawan yang sepadan untuk Panembahan Senopati. Sebagai seorang keturunan Majapahit, pemimpin Desa Mangir tersebut tentu memiliki banyak pendukung di daerahnya. Belum lagi, ia memiliki tombak sakti bernama Kyai Baru Klinthing yang tidak akan bisa dikalahkan oleh Panembahan Senopati dengan mudah.

Rencana Besar dan Berbahaya

“Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan, Patih?” tanya Panembahan Senopati.

Ki Juru Martani tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Ia berpikir keras mencari siasat yang lebih halus, licik, dan dipastikan bisa memenangkan sang raja.

“Menurut hamba, kita harus menggunakan sebuah siasat, Baginda,” ucap Ki Juru Martani, “Kita bisa menggunakan siasat apus karma atau tipu daya halus, karena ia sangat menyukai tarian ledhek atau ronggeng. Jika Baginda berkenan, kita bisa mengutus putri Baginda, Sekar Pembayun, untuk menyamar sebagai penari kemudian pergi ke Mangir,”

“Untuk apa kita mengirim Sekar Pembayun?” tanya Panembahan Senopati.

“Dengan kecantikannya, ia pasti bisa memikat sang pemimpin Desa Mangir hingga akhirnya mereka menikah. Jika itu terjadi, berarti penguasa Mangir telah menjadi menantu Baginda. Mau tak mau, ia harus menghadap dan menghormati Mataram,” jawab Ki Juru Martani.

Jawaban tersebut membuat Panembahan Senopati tertegun. Pada satu sisi, ia merasa khawatir karena rencana tersebut bisa mengancam keselamatan buah hatinya. Namun, di sisi lain, rencana tersebut sangat sempurna untuk bisa menjaga kewibawaan Mataram. Setelah memikirkannya matang-matang, Panembahan Senopati pun menyetujui rencana tersebut.

Tanpa menunggu lama, ia langsung memanggil putrinya, Sekar Pembayun, dan mengungkapkan rencananya. Sebagai seorang putri yang taat pada orang tuanya, Sekar Pembayun tak bisa menolak perintah itu.

Persiapan Pelaksanaan Rencana

 Bupati Karanganyar, Juliyatmono, main ketroprak dengan lakon Ki Ageng Mangir Wonoboyo
Sumber: Twitter – karanganyarkab

Sebelum memberangkatkan putrinya ke Mangir, Panembahan Senopati membentuk sekelompok seni musik ledhek yang terdiri dari para punggawa terkemuka di Mataram. Di antaranya ada Adipati Martalaya yang ditunjuk sebagai dalang, Ki Jayasupanta sebagai penabuh gamelan, dan Ki Suradipa sebagai penabuh gendang.

Masing-masing dari anggota ledhek tersebut memiliki nama samaran. Adipati Martalaya menggunakan nama Ki Dalang Sandiguna dan Ki Jayasupanta menjadi Ki Sandisasmita. Tak hanya itu, Sekar Pembayun pun menggunakan nama samaran Waranggana. Ia berpura-pura menjadi seorang penari sekaligus putri dari Ki Dalang Sandiguna yang dikawal oleh seorang bupati bernama Nyai Adirasa.

Grup kesenian ledhek itu harus berlatih selama beberapa saat dahulu agar terlihat lebih meyakinkan. Panembahan Senopati pun menyiapkan peralatan berupa gamelan dan wayang, yang nantinya akan dibawa ke Mangir juga.

Setelah persiapan yang matang, grup kesenian itu memulai perjalanannya menuju Mangir. Dalam perjalanan, mereka selalu mengadakan sebuah pertunjukan di setiap desa yang dilewati. Hal tersebut membuat nama mereka menjadi semakin dikenal di setiap desa hingga sampai ke Desa Mangir.

Oleh karena itu, ketika mereka tiba di tujuan mereka, grup kesenian palsu itu disambut dengan suka cita oleh Ki Ageng Mangir. Apalagi, kebetulan saat itu tengah diadakan merti dusun atau bersih desa, sebuah pesta rakyat untuk mensyukuri hasil panen yang melimpah.

Sang pemimpin desa langsung meminta Ki Dalang Sandiguna untuk mengadakan pertunjukan di halaman rumahnya. Ia pun mengundang para warga untuk menyaksikan pertunjukannya bersama.

Cinta Pada Pandangan Pertama

Ketika pertunjukan ledhek-nya dimulai, Ki Ageng Mangir terlihat sangat bahagia. Terutama saat melihat gerak tari Sekar Pembayun yang lemah gemulai dan suara merdunya.

Seperti dugaan Ki Juru Martani, sang pemimpin desa langsung terpikat dengan kecantikan Sekar Pembayun dan berniat untuk meminang sang putri. Padahal, selama ini belum ada satu wanita pun yang bisa memikat hatinya.

Ketika pertunjukan berakhir, ia langsung menemui Ki Dalang Sandiguna. “Ki Dalang, siapakah wanita cantik penari itu?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Ia adalah Waranggana, Tuan, putri hamba,” jawab Ki Dalang Sandiguna. “Jika berkenan, perbolehkanlah aku meminangnya, Ki,” pinta Ki Ageng Mangir.

Tentu saja hal yang diharapkan itu langsung mendapatkan persetujuan Ki Dalang Sandiguna. Pesta pernikahan pun langsung direncanakan dan dilaksanakan sesegera mungkin.

Sejak saat itu, Waranggana menjadi bagian dari keluarga Mangir. Sebaliknya, Ki Ageng Mangir tanpa sadar telah menjadi bagian dari keluarga Mataram. Setelah pesta pernikahan selesai diadakan, rombongan Ki Dalang Sandiguna yang kini telah menyelesaikan tugasnya pun kembali ke Mataram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *