Cerita Rakyat Si Tanggang Anak Durhaka Kepada Orang Tuanya
Alkisah, pada zaman dahulu, ada sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah orang Melayu. Di desa itu, hiduplah sepasang suami istri bernama Talang dan Deruma, serta anaknya Tanggang.
Kehidupan mereka sangatlah miskin dan serba kekurangan. Bahkan, mereka pernah tak makan seharian karena tak punya uang untuk membeli makanan. Wajar saja, Talang dan Deruma hanya mengandalkan penjualan kayu bakar yang mereka cari di hutan.
Si Tanggang sering berkhayal dan bermimpi menjadi pria yang kaya raya dan terkenal sehingga bisa menikahi gadis cantik jelita. “Kenapa aku lahir di keluarga miskin? Menjadi orang kaya pasti membuatku hidup nyaman,” gumamnya sambil melamun.
Pada suatu pagi, Tanggang melihat sebuah kapal besar yang sedang bermuara di dekat sungai. “Wah, perahu itu besar dan mewah sekali. Bekerja di situ pasti bisa membuatku kaya,” ucap pria itu dalam hati.
Karena sangat ingin bekerja di kapal itu, Tanggang pun pergi menemui nakhoda. “Tuan, apakah ada pekerjaan yang bisa aku lakukan di kapal ini? Aku membutuhkan pekerjaan,” ucapnya pada si nakhoda.
“Sebetulnya, aku butuh kru kapal. Tapi, aku tak bisa memperkerjakanmu begitu saja. Hari ini, kau harus menunjukkan cara kerjamu menjadi kru kapal,” ujar sang nakhoda.
Kemudian, Tanggang menunjukkan kebolehannya menjadi kru kapal. Ia bekerja sangat keras dan cepat. Tentu saja nakhoda kapal besar itu langsung menyukai Tanggang dan mengangkatnya menjadi kru kapal.
“Kau boleh menjadi kru kapalku. Tapi, kau harus ingat, ketika kau menjadi kru kapal, waktumu untuk bertemu keluarga akan semakin berkurang,” jelas si nakhoda.
Tanggang Berlayar
Meski harus berpisah dengan kedua orang tuanya, si Tanggang tetap ingin ikut berlayar. Ia lalu berpamitan dengan ayah dan ibunya. “Ibu, ayah, aku hendak berlayar bersama kapal besar itu,” ujarnya.
“Jangan, Nak. Berlayar sangatlah berbahaya. Lebih baik kau bekerja di sekitar rumah saja,” ujar sang Ibu cemas.
“Aku ingin mengubah nasib kita, Bu. Aku tak ingin hidup miskin selamanya,” jawab Tanggang.
Mendengar ucapan tersebut, Talang dan Deruma tak bisa berkata apa-apa. Mereka sadar, selama ini tak bisa memberikan kenyamanan hidup pada sang anak. Dengan sangat terpaksa, mereka mengizinkan Tanggang berlayar.
Selama bekerja di kapal, Tanggang bekerja dengan sangat keras. Ia melakukan apa saja pekerjaan yang Nakhoda perintahkan. Dalam hati ia berkata, “Aku akan bekerja keras agar menjadi kaya raya.”
Karena rajin bekerja, membuat Nakhoda sangat menyukai Tanggang. “Aku kagum pada kerja kerasmu. Bila kelak aku dah tua, aku akan menunjukmu menjadi nakhoda baru,” ucap Nakhoda itu pada Tanggang.
Benar saja, tak lama kemudian, si Nakhoda itu jatuh sakit karena usianya sudah terlalu tua. Ia lalu meminta Tanggang untuk menggantikannya.
Tak hanya pekerja keras, rupanya pemuda itu juga jago berbisnis. Namanya kian terkenal di kalangan para pengusaha kapal.
Suatu hari, ia mendapatkan undangan dari Sultan untuk merayakan pesta di istana. Tentu saja, ia tak menolak. Di sana ia bertemu dengan putri Sultan yang teramat cantik.
Mereka pun saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Setiap hari, Tanggang mengajak sang istri untuk berlayar ke seluruh penjuru negeri.
Berlabuh di Kampung Halaman
Pada suatu hari, kapal si Tanggang berlabuh di muara sungai desa tempatnya lahir. Orang-orang mengetahui bila Tanggang adalah anak Talang dan Deruma. Mereka pun mengabari pada Talang dan Deruma yang sudah semakin tua dan rapuh.
Tentu saja Talang dan Deruma merasa sangat bahagia mendengar kabar baik itu. “Anak kita sudah pulang. Aku sangat merindukannya. Ayo, kita pergi menengok anak kita di pelabuhan,” ujar Deruma pada suaminya.
“Iya, aku juga sudah merindukan anakku,” jawab Talang sambil menggandeng tangan istrinya untuk berjalan ke pelabuhan. Deruma tak hanya lemah, tapi juga kesulitan untuk berjalan.
Setibanya di kapal, anak kapal melarang Deruma dan Talang naik. “Aku ini orang tua dari pemilik kapal ini, jangan larang kami naik,” ujar Talang.
“Benar, kami hanya ingin bertemu anak kami. Tolong jangan larang kami naik,” ucap Deruma.
Karena terus memohon, awak kapal itu lalu menemui si Tanggang. “Tuan, ada dua orang tua yang mengaku sebagai ayah dan ibumu. Mereka memaksa naik kapal untuk bertemu denganmu,”
“Orang tua, Kanda? Aku belum pernah bertemu dengan mereka,” jawab sang Istri yang sedari tadi di sebelah Tanggang. Si Tanggang malu untuk mengakui kedua orang tuanya. Sebab, mereka tampak kumuh dan lusuh.
“Kedua orang tuaku sudah meninggal sejak aku kecil. Usir mereka,” ucap anak durhaka itu pada awak kapal.
“Baik, Tuan,” ucap awak kapal.
Dikutuk Menjadi Batu
Awak kapal berusaha mengusir Talang dan Deruma. Namun, mereka bersikukuh untuk menemui anaknya. “Anakku! Anakku! Lihatlah, kami kedua orang tuamu. Kami sangat merindukanmu,” ujar Deruma.
Karena tak kunjung pergi, awak kapal itu memukul dan menendang mereka. Namun, mereka tak menyerah dan tetap berteriak memanggil sang anak. Tak tahan dengan suara brisik mereka, Tanggang dan istrinya pun keluar kapal.
“Anakku, akhirnya kau keluar untuk menemui kami. Kami sangat rindu padamu, Nak,” ucap Deruma sambil menangis.
“Betulkah mereka orang tua dekil ini ayah dan ibumu, Kanda?” tanya sang Istri.
“Tentu saja bukan! Kedua orang tua kanda sudah lama mati. Mereka pasti ingin memanfaatkan kekayaanku,” hardik si Tanggang.
“Oh, Anakku! Kenapa kau tega berkata seperti itu. Aku ini ibumu dan ini ayahmu. Ayo, pulang. Ibu sudah buatkan pisang salai kesukaanmu,” ucap Deruma.
“Aku bukan anakmu! Pergi kau!” teriak Tanggang sambil menendang ibunya,
Si Talang dan Deruma sangat sedih dan kecewa. Mereka tak menyangka anaknya tega berbuat demikian. Deruma lalu memandang ke langit. Ia berdoa pada Tuhan, “Oh, Tuhan! Berilah kesadaran pada anakku. Tak seharusnya ia berbuat keji pada kedua orangtuanya. Buatlah ia mengakui bahwa aku adalah ibu kandungnya.”
Tiba-tiba saja petir berbunyi dengan sangat keras. Angin pun bertiup sangat kencang. Kapal yang dinaiki Tanggang dan istrinya terombang-ambing. Pemuda itu menyadari bahwa semua ini adalah akibat dari sikapnya yang durhaka.
“Ibu, tolong maafkan Tanggang. Kau adalah ibuku, tak seharusnya kau membuatku seperti ini,” teriaknya sambil terombang-ambing.
Namun, semua sudah terlambat. Ombak yang sangat kuat memecahkan kapalnya. Ketika badai reda, kapal si Tanggang berubah menjadi batu. Tak hanya itu, Tanggang dan istrinya serta seluruh awak kapal pun berubah jadi batu.