KUMPULAN CERITA RAKYAT

Kumpulan Seluruh Cerita Rakyat Indonesia dan International

Uncategorized

Cerita Rakyat Pulau Kapal dari Bangka Belitung Beserta Ulasan Lengkapnya

Alkisah, pada zaman dahulu, ada sebuah keluarga yang sangat miskin bertempat tinggal di dekat Sungai Cerucuk, Bangka Belitung. Keluarga itu terdiri dari ayah dan ibu yang sudah tua renta serta seorang pemuda.

Pemuda itu bernama Kulup. Ia dan kedua orang tuanya memang hidup sangat miskin. Tapi, mereka tak pernah merasa menderita. Sang ayah bekerja sebagai pencari kayu bakar, sementara ibunya bekerja di ladang.

Kulup setiap hari membantu pekerjaan ayah dan ibunya. Ia membantu dengan sangat rajin agar sang ayah dan ibu tak merasa kelelahan. Mereka hidup bahagia di tengah kondisi keuangan yang jauh dari kata cukup.

Pada suatu pagi, seperti biasa sang ayah pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ia juga ingin mencari rebung untuk dimasak. Saat menebang rebung, ia menemukan sebatang tongkat yang berada di rumpun bambu.

Ia mengamati tongkat itu, tapi tampaknya tak ada yang spesial. Lalu, ia pun mencoba membersihkan tongkat itu. Setelah dibersihkan, rupanya tongkat itu berhiaskan intan permata yang mengkilau dan sangat mwah.

“Wah, tongkat siapa ini? Kenapa tampak sangat indah sekali dengan hiasan intan permata,” ucap pria tua itu.

Ia merasa bingung dengan apa yang harus dilakukannya dengan tongkat itu. Pada akhirnya, ia pun memutuskan tuk membawanya pulang saja. “Ah, lebih baik aku membawanya pulang dulu. Aku kan menanyakan pada Kulup dan istriku,” ucapnya dalam hati.

Mencari Solusi

Setibanya di rumah, pria tua itu semakin bingung karena rumahnya sepi. Istrinya dan Kulup masih di ladang untuk bekerja. Ia lalu bergegas pergi ke ladang yang letaknya tak jauh dari rumah.

Saat sudah dekat, sang ayah berteriak memanggil istrinya. “Istriku! Istriku! Kemarilah, aku punya sesuatu,” teriaknya.

“Kulup, ada apa dengan ayahmu? Kenapa ia berteriak?” tanya sang ibu pada Kulup.

“Entahlah, Bu. Sepertinya ayah membawa sesuatu,” jawab Kulup sambil melihat sang ayah.

“Istriku, Kulup, lihatlah, Ayah menemukan sesuatu saat mencari rebung,” ucap sang ayah sambil menunjukkan tongkat itu.

“Betapa cantiknya tongkat ini, Suamiku. Siapa pemiliknya?” ucap sang istri.

“Bagaimana kalau kita kembalikan saja ke pemiliknya?” imbuhnya.

“Aku pun tak tahu siapa pemiliknya. Aku menemukannya di antara pohon bambu,” ucap sang suami.

“Bagaimana kalau kita simpan saja tongkat ini? Barangkali pemiliknya merasa kehilangan dan mencarinya?” imbuhnya.

“Tapi, mau disimpan di mana tongkat berharga ini, Pak? Kita tidak punya lemari yang cukup aman untuk menyimpan benda ini. Sayang sekali bila tongkat ini dicuri oleh orang lain,” jelas Kulup.

Menjual Tongkat ke Kota

Mereka pun terdiam sejenak di pinggir ladang sambil memikirkan apa yang harus diperbuat dengan tongkat itu. Tak lama kemudian, Kulup mendapatkan ide.

“Bagaimana kalau kita menjualnya saja, Yah? Barangkali ada orang yang mau membelinya dengan harga tinggi. Dengan begitu, kita bisa memperbaiki gubuk kita,” ucap Kulup.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya mereka sepakat untuk menjual tongkat temuan itu. “Aku akan pergi ke kota  di negeri seberang besok untuk menjual tongkat ini,” ucap Kulup pada kedua orang tuanya.

Keesokan harinya, Kulup berpamitan pada ayah dan ibunya untuk pergi ke kota. “Ayah, Ibu, aku pergi dulu ke kota untuk mencari saudagar kaya yang mau membeli tongkat ini. Jika sudah menemukan pembelinya, aku akan segera pulang,” ucap Kulup yang kemudian mencium tangan kedua orang tuanya.

“Berhati-hatilah, Nak. Jangan sampai kau kenapa-kenapa. Pulanglah dengan selamat,” ucap sang ibu sambil membawakan bekal untuk Kulup.

Lalu, berangkatlah Kulup ke kota dengan tongkat yang telah ia simpan rapat-rapat di dalam karung. Ia menaiki perahu dan melewati Sungai Cerucuk agar tiba di negeri seberang. Setibanya di kota, ia menemukan sebuah toko yang menjual barang-barang antik.

Ia pun memasuki toko itu dan menunjukkan tongkatnya pada sang penjual. “Tuan, aku ingin menjual tongkat ini. Kira-kira berapa uang yang bisa kudapatkan?” tanya Kulup sambil mengeluarkan tongkatnya.

Ada saudagar kaya yang berada di toko itu tak sengaja melihat tongkat milik Kulup. “Wah, bagus sekali tongkat milikmu, aku tertarik untuk membelinya,” ucap sang saudagar.

Menjadi Kaya Raya

Kulup menerima uang yang sangat banyak atas penjualan tongkat itu. Namun, bukannya pulang ke rumah, ia malah tetap tinggal di kota itu. Ia membeli rumah mewah dan berteman dengan para saudagar di sana.

Bahkan, ia menjadi menantu dari saudagar paling kaya raya di kota tersebut. Maka, kekayaan Kulup pun semakin bertambah. Kepada sang istri dan mertuanya, Kulup mengaku bila ia adalah anak dari saudagar kaya di negeri yang jauh.

Sementara itu, orang tua Kulup sepanjang hari mendambakan kepulangan sang anak. Bukan karena uang, tapi mereka mencemaskan kondisi anaknya yang tak kunjung ada kabar.

“Sudah hampir 1 tahun anak kita tak pulang. Apakah ada hal buruk yang menimpanya?” tanya sang istri pada suaminya.

“Tak usah berpikir yang tidak-tidak, Istriku. Mari berdoa saja agar anak kita Kulup senantiasa sehat dan segera pulang,” jawab sang suami.

“Baiklah, Suamiku,” ucap sang istri dengan raut wajah bersedih.

Setelah bertahun-tahun lamanya, mertua Kulup memintanya tuk berlayar ke Negeri lain di dekat Sungai Cerucuk, yang mana itu adalah kampung halaman Kulup. “Menantuku, berlayarlah ke negeri di Sungai Cerucuk. Bawalah binatang ternak untuk perbekalan. Lalu, dapatkanlah sumber daya alam di sana yang bisa kita jual di sini,” ucap mertua Kulup.

Kulup terdiam sesaat. Ia tak sanggup bila identitas aslinya terkuak saat kembali ke kampung halaman. Namun, ia tak dapat menolak permintaan sang mertua.  Ditambah lagi, sang istri ingin ikut berlayar.

“Izinkan aku ikut Suamiku ke negeri seberang ya, Yah. Aku tak sanggup bila harus berjauhan dengan Suamiku,” ucap sang istri.

Tentu saja sang mertua tak bisa menolak. Begitu pula si Kulup yang hanya bisa menuruti perkataan istri dan mertuanya.

Kembali ke Kampung Halaman

Keesokan harinya, berangkatlah Kulup ditemani istri dan para pengawal menggunakan kapal yang sangat mewah ke Sungai Cerucuk. Sepanjang perjalanan, Kulup hanya terdiam. Ia kalut memikirkan nasibnya ketika sampai di kampung halaman.

“Suamiku, ada apa denganmu? Kenapa kau tampak gundah gulana?” tanya sang istri.

“Tak mengapa, Istriku. Aku hanya sedang tak enak badan,” ucapnya berbohong.

Setelah sehari semalam perjalanan, tibalah rombongan kapal itu di muara Sungai Cerucuk. Di atas kapal, Kulup melihat keadaan sekitar. “Rupanya desa dekat sungai ini sudah banyak berubah,” gumamnya.

“Apa katamu, Suamiku? Aku tak mendengarnya,” tanya sang istri.

“Ah, tidak apa-apa, Istriku. Aku hanya mengagumi pemandangan di sini,” ucap Kulup.

Para warga desa terkesima dengan kemegahan kapal itu. Lalu, salah satu penduduk ada yang mengenali Kulup.

“Bukankah itu Kulup? Anak dari pasangan tua yang setiap hari mengharapkan kepulangannya?” tanya penduduk itu pada temannya.

“Benar. Wah, dia sekarang sudah menjadi kaya raya. Kita harus segera mengatakan berita baik ini pada ayah dan ibunya,” ucap kedua warga itu.

Mereka lalu bergegas menemui ayah dan ibu Kulup. Betapa bahagianya mereka mendapati anaknya masih hidup. “Oh, Anakku. Akhirnya kau pulang juga, Ibu sangat rindu,” ucapnya usai mendengar kabar baik itu sambil meneteskan iar mata.

Pasangan tua renta itu pun bergegas pergi ke muara sungai Cerucuk. Mereka juga membawa makanan kesukaan sang anak.

Tak Mengakui Ayah dan Ibunya

Setibanya di muara, sang ibu menangis dan bersujud syukur. “Syukurlah anakku Kulup masih hidup. Terima kasih, Tuhan,” ucapnya sambil menangis.

Ayah Kulup lalu memanggil-manggil anaknya dari bawah perahu. “Anakku, Kulup, kemarilah, Nak, kami merindukanmu,” teriak sang ayah.

Namun, Kulup tampak mengabaikan suara itu. Ia berpura-pura tak mendengar panggilan sang ayah.

Lalu, gantian sang ibu yang meneriakkan namanya. “Kulup! Kulup! Ini Ibu dan Ayahmu, Nak. Kamu senang karena akhirnya kau pulang,” ucap sang ibu.

Kali ini, Kulup tak bisa mengabaikan suara ibunya yang lantang itu. Ia lalu menoleh ke arah ibu dan ayahnya. “Apakah mereka benar ayah dan ibumu?” ucap sang istri.

“Tapi kenapa penampilan mereka compang-camping? Katamu, kau anak saudagar kaya?” ucap sang istri lagi.

“Bukan! Aku tak punya orang tua sekumuh itu! Mereka hanya mengaku-ngaku saja,” jawab Kulup.

“Kulup, Anakku. Sayangku. Ibu membawakan lempah kuning, makanan kesukaanmu,” teriak sang ibu.

“Tampaknya ia benar ibumu. Kau tak perlu berbohong padaku, Suamiku. Jujurlah. Jangan jadi anak durhaka,” ucap sang istri.

Mendengar ucapan istrinya, Kulup malah semakin marah. “Akan aku buktikan kalau mereka bukan orang tuaku!” ucap Kulup.

Anak Durhaka yang Mendapatkan Karma

Ia lalu turun ke kapal untuk menemui orang tuanya. Namun, bukannya menyambut dan memeluk hangat kedua orang tuanya, ia malah memarahi mereka. “Akhirnya kau pulang juga anakku. Kami merindukanmu,” ucap sang Ibu yang hampir memeluknya.

Belum sempat ia memeluk sang anak, Kulup langsung menepis tangan sang ibu. “Jangan berani-beraninya kau menyentuh bajuku dengan tanganmu yang kotor itu! Kalian bukan orang tuaku! Cepat pergi dari sini!” ujar Kulup.

“Nak, kami orang tuamu! Ini ibumu dan aku ayahmu! Tega sekali kau berkata seperti itu pada orang yang telah membesarkanmu,” ucap sang ayah geram.

“Kalian bukan siapa-siapaku! Orang tuaku itu saudagar kaya, bukan kalian!” ucap Kulup sambil mendorong kedua orang tuanya hingga terjatuh. Ia lalu naik ke kapal dan memutuskan tuk pergi.

“Kita pergi saja dari sini. Aku muak dengan orang-orang kampung ini!” ucap Kulup pada awak kapal. Sang istri terdiam. Ia tak bisa berkata apa-apa melihat sikap suaminya yang berubah menjadi penuh kebencian.

Di muara Sungai Cerucuk, ayah dan ibu Kulup masih tersungkur. Mereka menangisi anak yang tak mengakui mereka.

“Kenapa ia berbuat sejahat itu pada kita, Suamiku? Apa salah kita?” tanya sang istri. “Jika memang ia tak mengakuiku sebagai ibunya, biarkan kapal itu karam bersamanya!” ucap sang ibu penuh sakit hati.

Di saat yang bersamaan, tiba-tiba saja badai datang dengan kerasnya. Gelombang laut setinggi gunung tiba-tiba muncul dan menerjang kapal mewah milik Kulup. Akhirnya, kapal itu pun terombang-ambilng dan terbalik di tengah Sungai Cerucuk.

Semua penumpang, termasuk Kulup dan istrinya tewas seketika. Beberapa hari kemudian, di tempat karamnya kapal besar Kulup, muncullah sebuah pulau berbentuk seperti kapal terbalik. Orang-orang memercayai pulau itu terbentuk dari kapal Kulup yang terbalik. Mereka lalu menyebut pulau itu sebagai Pulau Kapal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *