Cerita Asal Usul Kali Gajah Wong
Cerita Asal Usul Kali Gajah Wong. Alkisah, pada zaman dahulu, berdirilah Keraton Mataram yang sangat megah di Kotagede. Lebih tepatnya berada 7 kilometer arah tenggara dari Kota Yogyakarta.
Sultan Agung adalah pemimpin Kerajaan Mataram. Ia memiliki ribuan prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah. Tak hanya itu saja, Sultan Agung juga memiliki banyak abdi dalem yang setia. Satu di antaranya adalah Ki Sapa Wira.
Setiap pagi, Ki Sapa Wira memandikan gajah milik Sultan Agung yang bernama Kyai Dwipangga. Ia selalu memandikan Kyai Dwipangga dengan lembut di sungai dekat Keraton Mataram. Karenanya, gajah dari Negeri Siam ini sangat menurut dan halus kepada Ki Sapa Wira.
Pada suatu hari, Ki Sapa Wira tak bisa memandikan Kyai Dwipangga. Sebab, tangannya sedang sakit, sehingga ia tak bisa bergerak bebas. “Aduh, bagaimana ini. Aku tak akan bisa memandikan Kyai Dwipangga dengan bersih bila tanganku sakit,” ucapnya kesal.
Ki Kerti Peyok. adik ipar Ki Sapa Wira, yang mendengarkan keluhan kakaknya itu pun berucap, “Kenapa, Mas? Ada apa kok Mas tampak sedih?”.
Nama asli Ki Kerti Peyok adalah Ki Kerti Kertayuda. Ia terkena penyakit polio sejak lahir, sehingga kalau berjalan meliuk-meliuk pincang alias peyok dalam istilah bahasa Jawa. Karenanya, orang-orang memanggilnya Ki Kerti Peyok.
“Begini Adikku, tanganku sakit terkena pisau, sehingga aku tak bisa memandikan Kyai Dwipangga. Aku harus bagaimana?” ucap Ki Wira sedih.
“Kalau begitu, bagaimana kalau aku saja yang menggantikanmu memandikan gajah milik Sultan Agung, Mas?” tanya Ki Kerti Peyok yang ingin membantu kakaknya.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Ki Wira menjawab, “Baiklah. Aku sangat berterima kasih bila kau mau membantuku. Perlakukanlah Kyai Dwipangga dengan lembut. Bila ia tak mau berendam di sungai, tepuk saja perlahan kaki belakangnya dan tarik buntunya.”
Ki Kerti Peyok Memandikan Gajah
Setelah mendengar perkataan kakaknya, Ki Kerti Peyok lalu menggambil Kyai Dwipangga di Keraton Mataram. Ia lalu menggiringnya ke sungai.
Baru kali ini Ki Kerti Peyok memandikan gajah. Sebenarnya, ia agak terkejut dengan badan Kyai Dwipangga yang teramat besar dan gagah.
“Ternyata tubuhmu dua kali lipat lebih besar dari seekor kerbau. Tapi tak mengapa, aku pasti bisa memandikanmu,” ucap Ki Kerti Peyok.
Lalu, ia mulai memandangi dengan seksama tubuh Kyai Dwipangga. Dalam hati ia berkata,”Hmm, tubuhmu sebenarnya bersih sekali, belalai panjangmu juga bersih. Apalagi gadingmu, tampak putih mengkilat. Pandai sekali kakakku dalam membersihkanmu.”
Sebelum memandikannya, Ki Kerti memberikan dua buah kelapa muda untuk sarapannya. “Nih, ambillah dua kelapa ini untuk makan pagi. Kau pasti lapar setelah berjalan cukup jauh menuju ke sungai ini,” ucap Ki Kerti.
Dengan cepat, Kyai Dwipangga membelah dua butir kelapa itu dengan belailainya. Ia sangat lahap memakan kelapa.
“Wah, kamu benar-benar kelaparan, ya? Dua kelapa langsung kau lahap begitu saja. Sekarang saatnya kau untuk mandi,” ucap Ki Kerti.
Ki Kerti lalu menepuk dengan pelan kaki belakang Kyai Dwipangga. Ia juga menarik ekornya dengan pelan agar gajah itu mau berendam. Setelah itu, ia menggosok-gosok badan Kyai Dwipangga dengan lembut.
Setelah bersih, ia menggiring Kyai ke tempat panas agar badannya cepat kering. Ketika hari mulai sore, Ki Kerti membawa pulang Kyai Dwipangga ke keraton. Kemudian, ia pulang ke rumah dan melapor pada Ki Sapa Wira.
“Mas, gajahnya sudah kumandikan sampai bersih,” ucap Ki Kerti.
“Baiklah, terima kasih Ki Kerti. Ini aku berikan sedikit upah untukmu,” jawab Ki Sapa Wira seraya memberikan uang.
Ki Sapa Wira Belum Sembuh
Keesokan harinya, rupanya tangan Ki Sapa Wira belum sembuh. Ia lalu meminta bantuan kepada Ki Kerti untuk memandikan Kyai Dwipangga lagi hari ini.
“Ki Kerti, maukah kau menolongku lagi untuk memandikan Kyai Dwipangga hari ini? Tanganku masih belum sembuh,” pintanya.
Tanpa pikir panjang, Ki Kerti langsung menerima permintaan kakaknya itu. Hanya saja, cuaca hari ini berbeda dengan kemarin. Langit terlihat sangat mendung.
Tak mengindahkan cuaca, Ki Kerti tetap membawa Kyai Dwipangga menuju ke sungai. Sayangnya, sungai yang kemarin ia datangi tampak dangkal karena airnya surut. Karena itu, ia mengajak Kyai Dwipangga ke tengah sungai yang tak begitu dalam.
“Hmm, aku lebih baik memandikan Kyai di sini saja. Airnya tak begitu dalam meskipun aku berada di tengah-tengah sungai. Memang Kanjeng Sultan orang aneh. Kenapa ia mewajibkan memandikan gajahnya di sungai sekecil ini,” ucap Ki Kerti dalam hati.
Ia mulai menggosok-gosok bada Kyai Dwipangga. Tiba-tiba saja, hujan-malam hujan turun dengan derasnya. Tanpa ia sadari, banjir bandang datang dari arah utara. Ki Kerti Peyok da Kyai Dwipangga tak kuasa menahan derasnya arus kali.
“Tolong! Tolong!” teriak Ki Kerti Peyok sambil melambai-lambaikan tangannya. Karena hujan sangat deras, tak ada satu pun yang mendengar suaranya. Ki Kerti Peyok dan Kyai Dwipangga pun hanyut hingga ke Laut Selatan.
Mereka pun mati karena tak ada yang memberikan pertolongan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, Sultan Agung